LETNAN Dua Aryo Bimo memandang batu nisan didepannya dengan
kepedihan tiada tara. Dibacanya berulang-ulang nama yang tertera disana dengan
nada pilu. Arimbi Wulansari, bibirnya bergetar menyebut kekasih
tercintanya itu penuh kerinduan yang teramat dalam. Seketika, pelupuk matanya
basah, entah untuk kesekian kalinya dia menangis. Daun-daun kamboja yang
menaungi makam Arimbi berguguran diterpa angin senja yang cukup kencang bertiup
saat itu. Aryo menyeka air matanya perlahan dengan punggung
tangan. “Tentara sebaiknya tidak boleh menangis,” terngiang jelas
ucapan Arimbi didinding telinganya sesaat sebelum menaiki kapal yang akan
membawanya ke Aceh 6 bulan lalu.
Ia teringat saat itu, sembari tersenyum, Arimbi menyodorkan
sapu tangan warna biru kepadanya untuk membasuh linangan air mata dipipinya
yang kemudian diterimanya dengan rikuh. Spontan Aryo meraba kantongnya.
Saputangan biru itu masih ada disana, tersimpan rapi, supaya “Kalau menangis
lagi, tidak perlu menungguku menyodorkannya. Jadi simpan saja buatmu, Mas. Tapi
aku tak berharap kamu menggunakannya lagi untuk hal yang sama” demikian
ucap Arimbi waktu itu saat Aryo mengembalikan saputangan tersebut. Mendadak
keharuan membuncah didada perwira muda itu, lalu pelan tapi pasti menyeret
kenangan indah bersama Arimbi kembali…
—***—
“Jangan memandangku terus-terusan kayak gitu dong Mas
Letnan. Malu aku,” kata Arimbi seraya mencubit mesra lengan Aryo, kekasihnya,
suatu malam disalah satu sudut warung makan lesehan saat keduanya
tengah menyantap hidangan seafood. Pipi gadis itu memerah.
“Matamu itu, Bi. Indah sekali seperti bulan purnama dimalam
hari. Bulat bundar penuh pesona dan setiap kerjapnya membuatku hatiku tergetar
setiap kali memandangnya,” sahut Aryo sambil meraih jemari Arimbi dan
menggenggamnya dengan lembut.
“Gombal !. Aku laporin ke komandanmu nanti lho !,” timpal
Arimbi yang kemudian mendaratkan cubitan lebih keras lagi dan bertubi-tubi ke
lengan Aryo yang kemudian mengaduh kesakitan seraya memasang mimik lucu.
“Ampuuun..tuan putri Arimbi, hamba menyerah kalah,” kata
Aryo pasrah mengangkat tangan. Mereka lalu tertawa renyah.
Pertemuan Aryo dengan Arimbi, gadis bermata purnama itu
terjadi tanpa sengaja. Bermula ketika Aryo yang melintas dengan sepeda
motor selepas mengawasi piket jaga disuatu siang yang terik, menemukan seorang
gadis cantik kebingungan memandangi ban kempes didepan mobil Toyota Starlet
birunya yang menghadang tepat didepan jalan. Aryo menepikan motornya dan menyapa
gadis itu.
“Ada masalah apa, Dik ?”, sapa Aryo ramah.
“Ini Mas, ban mobilku kempes, aku…aku..tidak begitu
mengerti cara mengganti dengan ban cadangan. Bisa tolong aku Mas ?”, sahut
gadis itu dengan gugup dan raut wajah cemas.
“Ada ban penggantinya kan’ di bagasi ?” Tanya Aryo
sambil menyingsingkan lengan baju seragam lorengnya. Gadis itu mengangguk.
Terlihat peluh mengucur didahinya dan mengalir melalui jenjang lehernya yang
putih. Namun hatinya mulai tenang mendapat bantuan spontan dari sang perwira muda.
Dengan sigap Aryo mengganti ban mobil gadis itu dengan ban
pengganti dari dalam bagasi.
“OK, sudah selesai !”, kata Aryo beberapa saat kemudian
sambil mengibas-ngibaskan celana hijau lorengnya dari debu jalan setelah
bangkit dari bawah mobil melepas dongkrak. Bulir-bulir keringat terlihat
didahinya.
“Terimakasih Mas, ini ada air kalau mau minum atau cuci
tangan,” kata gadis itu menyodorkan sebotol air mineral. Aryo menerimanya
kemudian meneguk minuman tersebut dan sisanya dipakai mencuci tangan.
“Ups..habis nih,” ucap Aryo sambil memperlihatkan botol air
mineral itu ke arah sang Gadis dengan pandangan mata bersalah.
“Nggak apa-apa koq. Nanti bisa beli lagi .
O,ya..ngomong-ngomong, sebagai rasa terimakasih, boleh nggak aku ajak Mas makan
bakso di warung sebelah sana ?”, ujar gadis itu menawarkan.
“Terimakasih dik, tapi saya mesti kembali ke Markas,” kilah
Aryo.
“Tolong dong Mas, aku nggak tahu bagaimana mengungkapkan
rasa terimakasih pada anda. Sekali ini saja. Toh kita hanya makan
semangkok bakso dan tidak perlu sampai menghabiskan waktu seharian. Nanti kalau
komandannya marah, biar aku aja deh yang hadapi. Mau kan’ ?,” gadis itu merajuk
manja. Aryo tertawa renyah ia tak kuasa menolak tawaran gadis manis itu.
“Baiklah, tapi aku parkir motor dulu ya ? Kamu tunggu aja
duluan disana,” kata Aryo sambil berjalan ke arah motornya.
Pertemuan siang itu kemudian menjadi awal dari pertemuan
demi pertemuan selanjutnya. Gadis itu, Arimbi Wulansari, , mahasiswa tingkat
tiga sebuah universitas negeri dan puteri seorang pengusaha terkenal yang
berdomisili dekat dari Markas Aryo. Jalinan kasih keduanya terjalin indah
sampai kemudian saat menikmati senja yang indah dipantai, Aryo mengungkapkan
berita yang cukup mengagetkan sekaligus menggelisahkan.
“Bi, mulai bulan depan aku akan dipindahkan tugas ke Aceh,”
kata Aryo hati-hati dengan tenggorokan tercekat. Ekspresi bahagia Arimbi mendadak
berubah. Raut mukanya terlihat tegang.
“Keputusan itu mendadak sekali. Baru tadi pagi saat
kami briefieng di Markas. Tapi cuma enam bulan saja koq, sesudah itu
balik lagi kesini sekalian melamarmu menjadi istriku,” imbuh Aryo sambil
mengelus rambut kekasih tercintanya dengan lembut.
“Tapi itu cukup lama buatku,” sahut Arimbi sambil menatap
hampa pada garis batas cakrawala merah saga di ujung laut. Mentari mulai
beranjak ke peraduan. Ombak berdebur halus menghempas bibir pantai.
Aryo menghela nafas panjang. Ada beban menghimpit dadanya.
“Ini sudah menjadi resiko tugas sebagai aparat negara, Bi.
Dan aku kira kamupun sudah siap menerima ini ketika kita menyatakan komitmen
untuk menjadi calon pasangan suami isteri tempo hari. Cepat atau lambat, aku
pasti akan menerima penugasan penuh resiko seperti sekarang,” kata Aryo
menjelaskan. Arimbi terdiam, ia menunduk, menekuri butir-butir pasir di pantai.
Pelupuk matanya mulai basah.
Aryo meraih bahu kekasihnya itu dan memeluknya erat-erat.
Semilir angin senja menggeraikan rambut Arimbi.
“Tapi tidak secepat ini, Mas. Aku tak ingin kehilangan
kamu,” isak Arimbi lirih. Aryo kembali mengelus lembut rambut kekasihnya.
“Aku pasti akan kembali kepadamu, Bi. Sepotong hatiku sudah
ada padamu. Pijar mata purnamamu senantiasa akan mendampingiku selama disana
Pada saatnya nanti setelah aku pulang dari Aceh, kita menikah membangun
mahligai rumah tangga yang bahagia dan kamu kelak melahirkan anak-anak kita
yang lucu.. Percayalah Bi, aku tidak akan tertembak oleh GAM dan pulang kembali
padamu dalam keadaan sehat wal-afiat, “ hibur Aryo sambil mencoba berseloroh.
Arimbi mencubit perut Aryo pelan. Perasaannya melambung dan membayangkan pesta
perkawinannya nanti setelah Aryo pulang dari penugasannya di Aceh.
—***—
Arimbi memandang sosok lelaki pujaannya itu diatas geladak
kapal yang akan membawanya ke Aceh. Dadanya terasa sesak oleh keharuan yang
tiba-tiba menyentak. Dia begitu tampan dengan seragam militernya. Aku tak
akan memperlihatkan tangisku didepannya karena aku tidak ingin terlihat rapuh
menjelang dia pergi, Arimbi membatin dengan getir. Ia melihat, Aryo melambaikan
tangan kearahnya sambil mengucapkan kalimat tanpa suara, Tunggu ya..aku
akan kembali kepadamu. Arimbi yang dapat membaca bahasa bibir Aryo kemudian
mengangguk. Ia balas melambaikan tangan kearah kekasihnya.
Peluit panjang kapal perang KRI.Teluk Limau bergema kencang.
Tambang kapal sudah dilepas dan perlahan lambung kapal itu bergerak menjauhi
pelabuhan. Sosok Aryo makin lama makin mengecil. Tapi dia masih disitu, diatas
geladak kapal dan terus melambaikan tangan. Arimbi menggigit bibir, ia tak
kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh bergulir disela-sela
pipinya. Aryo, sepotong hatimu ada padaku,seperti sepotong hatiku pula
kamu bawa bersamamu, ucapnya dalam hati.
—***—
Aryo baru saja menyalakan handphonenya pada Minggu pagi
26 Desember 2004. Gempa dashyat yang baru saja melanda Aceh. Setelah 4 bulan
berada dimedan penugasan itu, tugas mendadak muncul sebagai sukarelawan
membantu korban gempa yang berada disekitar markasnya. Atas pertimbangan
kesibukan menjalankan tugas tersebut, ia memutuskan tidak menerima panggilan
telepon lebih dulu dengan menon-aktifkan handphonenya. Dengan perasaan bingung,
ia melihat sejumlah missed call dari Arimbi. Aryo baru saja
mencoba menghubungi kembali Arimbi ketika ia dikejutkan oleh dering keras
handphonenya .
“Aryo, ini Bunda, ibu Arimbi”, terdengar suara diseberang
sana dengan nada panik.
“Ya, Bunda. Ada apa ? Tumben telepon pagi-pagi”,
sahut Aryo mengenali suara calon mertuanya itu.
“Arimbi ada disana sekarang”
“Hah ? Disini ? Di Aceh ? Mau apa dia kesini Bunda ?”, Aryo
kaget, hampir saja handphonenya terjatuh. Informasi tadi seperti membuat
jantungnya copot seketika. Kecemasan mulai melanda hatinya apalagi melihat
kenyataan gempa dashyat baru saja terjadi di ibukota serambi Mekkah itu.
“Ya, dia berangkat tadi malam dengan pesawat terakhir ke
Aceh. Katanya kangen sama kamu dan minta Bunda merahasiakan kepergiannya kesana
untuk menengokmu sehari saja dan kembali lagi ke Jakarta dengan pesawat sore
ini. Arimbi mau bikin kejutan besar untuk kamu. Tapi pagi ini perasaan Bunda
tidak enak dan semalaman bunda tidak bisa tidur, seperti akan terjadi sesuatu
padanya. Tolong kamu cari dan temui dia secepatnya ya ?”tutur Ibu Arimbi.
Aryo terdiam dan tidak menyangka Arimbi berani melakukan
kejutan penuh resiko seperti itu. Ia sengaja tidak menceritakan gempa besar
yang baru saja terjadi di Aceh kepada calon mertuanya itu yang mungkin saja
belum tahu, untuk meredam kecemasan lebih lanjut.
“Dia ada dimana sekarang Bunda ?”
Bunda menyebutkan salah satu nama hotel tidak jauh dari
Markas Aryo saat ini.
“Baik, aku segera menyusulnya sekarang. Nanti aku kabari
setelah ketemu, Bunda,” kata Aryo dan setelah memutuskan hubungan telepon
segera berlari menuju motornya.
Baru saja ia menstarter motor, tiba-tiba terdengar kepanikan
luar biasa. Aryo menoleh, dan terlihat serombongan orang berlari-lari kearahnya
sambil berteriak histeris.
“Air..air…air !!..Cepat lari selamatkan diri!!”
Kengerian tiba-tiba menyeruak dalam dadanya saat menyaksikan
dinding air setinggi pohon kelapa menuju kearahnya dengan kecepatan tak
terduga. Aryo berlari sekencang-kencangnya, dalam fikirannya, ia harus menuju
ke hotel tempat Arimbi menginap dan menyelamatkannya dari bencana tersebut. Namun,
akhirnya ia tak kuasa ketika gelombang air tsunami itu menggulung tubuhnya lalu
memutarnyadengan dashyat. Meluluh lantakkan semua yang dilaluinya. Tanpa
kecuali. Seketika ia tidak ingat apa-apa lagi.
—***—
Aryo membuka mata dan melihat sekeliling ruangan yang serba
putih. Pandangannya kabur dan samar-samar ia melihat kaki kirinya digips dan
digantung.
“Alhamdulillah, dia sudah sadar,” ia mendengar suara yang
begitu dikenalnya.
“Ayah ?” , kata Aryo lirih. Kesadarannya perlahan mulai
pulih.
“Ya, ini ayah nak,” sahut lelaki tua itu seraya membelai
rambutnya.
“Mana Arimbi ayah ? Mana dia ?”, tanya Aryo penasaran. Ia
mencoba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit tapi segera ditahan oleh beberapa
orang perawat. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
“Tenang nak. Kamu baru saja sadar dari koma selama 2 hari.
Tim penolong menemukanmu tersangkut di sebuah pohon dengan kaki patah setelah
tsunami sekitar 2 kilometer dari Markasmu. Kami lalu berinisiatif membawamu
pulang kembali dan merawatmu di Jakarta. Syukurlah kamu selamat dari bencana
ini dan sekarang sudah sadar,” tutur ayahnya pelan.
“Tapi dimana Arimbi ayah ? Dimana dia ?”, teriak Aryo putus
asa.
Lelaki tua itu menghela nafas panjang, ada beban berat
menghimpit dadanya saat itu. Aryo menatap lelaki tua itu penuh harap.
“Nanti saja Ayah ceritakan. Kamu perlu banyak istirahat.
Ingat, hari ini kamu baru saja sadar dari koma. Butuh waktu yang tidak singkat
untuk memulihkan kesehatanmu,” sahut ayahnya pelan. Aryo mendengus kecewa.
“Dia datang menjengukku ke Aceh, Ayah. Untuk aku. Tolong
ceritakan bagaimana nasibnya. Sepahit apapun aku siap menerimanya. Tolong
ayah,” kata Aryo sambil mencoba meraih tangan ayahnya. Suaranya terdengar putus
asa. Ayahnya menelan ludah, mengumpulkan segenap keberanian dalam batinnya. Ia
menggenggam jemari Aryo dengan erat, mengalirkan kekuatan. Dipandangnya salah
seorang perawat di dekat pembaringan Aryo meminta persetujuan. Suster tersebut
hanya mengangkat bahu dan sepertinya menyerahkan keputusan kepada ayah sang
pasien sendiri.
“Baiklah, nak. Tentang Arimbi, calon istrimu,…dia..tewas
dalam musibah dashyat ini. Jenazahnya ditemukan didepan hotel tempat ia
menginap. Tampaknya dia baru saja bermaksud menuju ke markasmu pagi itu.
Jenazahnya dibawa ke Jakarta bersamamu 2 hari yang lalu dan sudah dimakamkan,”
Ayah Aryo menuturkan kisah tragis itu dengan kalimat terbata-bata. Kesedihan
teramat dalam terpancar diwajah Purnawirawan Kolonel itu.
Aryo terdiam. Batinnya begitu terguncang mendengar berita
tersebut. Arimbi, kekasih belahan hatinya telah pergi untuk selamanya. Ia
datang ke Aceh untuk menjenguknya namun sekaligus menjemput kematiannya
sendiri. Mendadak timbul rasa penyesalan teramat dalam di hati Aryo tidak
menyalakan handphone ketika bencana gempa terjadi sebelum gelombang tsunami
dashyat melanda. Arimbi telah berusaha menghubunginya berulang kali saat itu
namun gagal. Ia mungkin saja masih bisa menyelamatkan nyawa kekasihnya apalagi
mengingat jarak antara hotel Arimbi dan Markasnya tidak terlalu jauh. Perlahan
pelupuk mata Aryo basah, genggaman jemari ayahnya makin erat.
“Tabahkan hatimu, nak. Doakan semoga Arimbi mendapat tempat
yang layak disisiNya,” ujar ayahnya lirih. Aryo tak menjawab. Sembari menggigit
bibir, menahan keharuan yang menyesak dada, Ia lalu menoleh keluar ke arah
jendela kamar tempat ia dirawat. Gerimis mulai turun, menghantam kacadengan
lembut dan menyisakan jejak buram. Arimbi, sekeping hatiku telah kaubawa
bersamamu, desis Aryo perlahan.
—***—
Aryo mengusap batu nisan Arimbi dengan lembut, seakan
mengelus kembali rambut kekasihnya yang panjang menggerai. Malam mulai turun di
kompleks pemakaman itu. Bulan purnama muncul malu-malu dibalik langit. Aryo
lalu mengeluarkan saputangan biru pemberian Arimbi.
Terngiang kembali ucapan Arimbi saat menyerahkan saputangan
tersebut kepadanya, “Kalau menangis lagi, tidak perlu menungguku
menyodorkannya. Jadi simpan saja buatmu, Mas. Tapi aku tak berharap kamu
menggunakannya lagi untuk hal yang sama”. Aryo mencium saputangan itu
dengan penuh perasaan dan merasakan kehadiran kekasihnya didekatnya.
Wangi parfum kesayangan Arimbi tercium sangat lekat. Aryo
tersenyum dan memandang langit. Disana, dalam redup lembut cahaya bulan, ia
melihat mata purnama Arimbi berpijar. “Aku tak akan menangis lagi Arimbi karena
dalam setiap purnama, kamu akan selalu hadir memandangku penuh rindu
dengan mata indahmu”, bisik Aryo lirih ke pusara sang kekasih. Dingin
malam mulai mendekap, desau angin dipemakaman mulai terasa menggigilkan tubuh,
namun kehangatan cahaya bulan mengalir ke sekujur tubuh perwira muda itu.
Aryo bangkit dengan hati-hati dan dengan langkah tertatih
sembari menggunakan kruk, ia berjalan meninggalkan kompleks pemakaman itu.
Ditatapnya sekali lagi pusara Arimbi dan berdesis pelan, “aku akan
menyimpan pijar purnama matamu dihatiku, Arimbi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar