http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-074f-388e-fa04?ln maswin: Oktober 2016

Minggu, 23 Oktober 2016

PONDOK PESANTREN : PENJAGA KARAKTER BANGSA

A. Pendahuluan
Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara, tidak terkecuali Indonesia. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi kepentingan masing-masing bangsa dan negara.
Di bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sehingga semakin mempersulit posisi negara-negara miskin atau berkembang seperti Indonesia.Banyak produk - produk asing  misalnya seperti apel merah dari Washington, anggur merah, kelengkeng, buah pir Cina, pisang Cavendish, bahkan sampai bawang merahpun masuk begitu bebas tanpa bisa dibendung, dengan dalih  "perdagangan bebas". Globalisasi ekonomi ini sesungguhnya didukung oleh sebuah kekuatan yang luar biasa hebatnya, yaitu apa yang disebut liberalisme ekonomi, yang sering juga disebut kapitalisme pasar bebas. Kapitalisme pasar bebas ini mempunyai tiga ciri, yaitu pertama, sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; kedua, barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas yang bersifat kompetitif; ke tiga, modal diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba. Bagi negara-negara berkembang, sistem kapitalisme pasar bebas jelas akan sangat merugikan, sebab kekuatan modal besar akan bisa menggilas produk - produk  dalam negeri.yang  tidak akan mampu bersaing dengan produk negara maju.
 Sementara itu dalam bidang politik dan pertahanan keamanan terjadi pula pergeseran nilai. Misalnya, globalisasi di bidang politik tampak, bahwa demokrasi dan HAM telah dijadikan oleh dunia internasional untuk menentukan apakah negara tersebut dinilai sebagai negara beradab atau bukan? Beberapa negara timur tengah misalnya telah porak poranda karena politik yang dianut di negara tersebut tidak sesuai dengan HAM dengan yang ditetapkan dunia barat, sehingga menuntut pihak asing untuk ikut campur di negara tersebut.
Dalam bidang sosial dan budaya, dampak globalisasi antara lain adalah meningkatnya individualisme, perubahan pada pola kerja, terjadinya pergeseran nilai kehidupan dalam masyarakat. Saat ini di kalangan generasi muda banyak yang seperti kehilangan jati dirinya, sehingga ada yang melampiaskan memakai obat - obatan terlarang.
B. Pendidikaan berkwalitas
Untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi adalah dengan meningkatkan kwalitas pendidikan. Pendidikan yang berkwalitas harus bisa mencetak individu yang mempunyai kreatifitas yang tinggi, tangguh, tidak mudah menyerah, dan tentunya mempunyai karakter budaya bangsa yang kuat. Jika tidak maka individu itu akan jadi pecundang di negerinya sendiri artinya menjadi penonton atau penaunggu sedekah dari bangsa lain yang menguasai negerinya.
"Bangsa  apa pun, apalagi bangsa kita, tidak akan mungkin dapat mencapai kemajuan tanpa sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik tidak akan dapat kita peroleh tanpa pendidikan yang baik." kata Yusuf Kalla dalam pertemuan dengan pengurus Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta.[i]
Pendidikan yang berkwalitas juga harus menjadi proses pembudayaan manusia untuk dijadikan manusisa seutuhnya sesuai dengan karakter bangsa atau masyarakatnya. Pendidikan bukanlah mesin "ATM" yang bisa digunakan untuk mentransfer suatu nilai dengan cepat tanpa memperhatikan daya serap anak didik, pendidikan juga bukan merupakan progaram komputer yang bisa dengan cepat meng copy - paste nilai kedalam otak anak didik.
Pendidikan yang berkwalitas adalah pendidikan yang bukan mencetak anak didik yang jago menghafal, mencotek, mudah depresi, minder, suka melakukan bullying(untuk mendapat pengakuan dari adik kelas) tetapi pendidikan yang bisa mencetak  rasa peduli pada sesama, kreatif, mandiri, rasional dan tidak mudah menyerah.
Pendidikan yang berkwalitas harus bisa menghasilkan banyak pemimpin. Pemimpin yang baik menurut Ki Hajar Dewntara adalah pemimpin yang mempunyai sifat Ing Ngarso Sung tolodo, In Madyo Mangu Karso, Tut Wuri Handayani yaitu pemimpin yang jika didepan masyarakat harus bisa jadi teladan, ditengah masyarakat harus bisa memberi semangat, dan jika dibelakang bisa menjadi pendorong.
Menurut Platon untuk mendidik calon pemimpin ada tiga pengandaian dasar yaitu yang pertama, pendidikan itu mendidik jiwa anak didik. Dengan memahami jiwa  menurut Platon membuat kita sadar bahwa pendidikan harus bisa mengarahkan jiwa anak didik kearah kebenaran yang sejati. Kedua, Imitasi artinya pendidikan harus bisa  meniru keutamaan  lingkungan sekelilingnya, dengan begitu pendidikan bisa menciptakan sensebilitas (kepekaan rasa merasa). Ketiga, konsisten dengan prinsip bahwa hidup itu harus direngkuh.[ii]
Untuk mendidik anak didik yang dapat menjadi pemimpin tentunya memerlukan suatu figur yang mempunyai integritas untuk memajukan bangsa ini untuk dijadikan panutan dan teladan.

C.Pentingnya karakter bagi kemandirian bangsa
 Negara  Jepang yang pada awal Maret 2011, terjadi gempa Tsunami, yang menurut Kompas.com tinggi gelombang air laut yang mencapai daratan mencapai 4 meter dan kekuatan gempanya mencapai 8,9 SR, benar-benar melumpuhkan negeri matahari tersebut. Bagaimana jika peristiwa itu terjadi di Indonesia, maka secepat kilat para pewarta baik cetak atau elektronik mengabarkan orang yang meratap dan berurai air mata akibat bencana itu. Para pewarta seakan beradu cepat, akurat, tajam, dan terpercaya untuk menampilkan dan mempertontonkan kemalangan dan derita masyarakat. Sementara para petinggi dan pesohor negeri saling mengkritik dan mencaci terhadap penanganan bencana tersebut untuk berebut simpati.
Tetapi peristiwa tersebut tidak terjadi di negeri Jepang, para pewarta cetak ataupun elektronik mengabarkan dengan santun dan hati-hati.Mereka mengabarkan bencana tersebut dengan penuh kearifan dan jauh dari provokasi. Mereka tidak menampilkan orang yang meraung - raung karena kehilangan sanak famili dan harta bendanya. Mereka mengabarkan orang-orang yang tertib saat antri menerima bantuan dari para sukarelawan. Mereka mengabarkan bahwa malapetaka yang hebat itu tidak meruntuhkan semangat dan karakter bangsa Jepang.
Karakter yang kuat perlu dimiliki suatu bangsa dalam mempertahankan keberadaan bangsa tersebut. Thomas Lickona berpendapat bahwa, "Sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai."[iii]
Membentuk bangsa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi kebiasaan dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Pendidikan karakter, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut diberikan dan lakukan dengan disiplin, sehingga terbentuklah suatu kebiasaan atau budaya.
D.Pesantren dan pembangunan karakter
Tidak ada data resmi tentang kapan  pesantren atau pondok pesantren pertama muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di Pulau Jawa sekitar permulaan abad ke-15 atau kurang lebih 500 tahun yang lalu. Selama kurun waktu hampir setengah milenium itu, lembaga pesantren telah mengalami banyak perubahan di berbagai segi dan telah memainkan berbagai macam peran strategis dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Pada era walisongo, peranan terpenting dari pondok pesantren tampak dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pesantren dengan figur kiayi atau wali juga memiliki kekuatan politis untuk melegitimasi sebuah kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan Demak dan Pajang. Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan Belanda, dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam.
Kata pondok berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti ruang tidur, asrama, atau wisma sederhana.[iv] Maka pondok memang pada awalnya adalah tempat penampungan sederhana bagi para santri yang jauh dari tempat asalnya. Bahkan kini “funduq”  juga dapat diartikan sebagai hotel mewah. Adapun pesantren berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti ilmuwan atau cendikiawan (Hindu), maka pesantren sendiri adalah tempat pendidikan untuk mencetak dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan atau cendikiawan (Hindu).[v]
Pondok pesantren bukan hanya tempat untuk melakukan untuk melakukan tranfer ilmu dan teknologi,tetapi juga suatu lembaga yang memiliki pola atau sistem untuk membentuk masyarakat yang bisa berbeda dengan masyarakat sekitarnya.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, salah satu kekhasan pesantren adalah tetap mempertahankan kemandirian dan hidup kolektif yang tidak bisa dipisahkan sifat al-ukhuwwah (persaudaraan), al-ta'awun(tolong menolong), al-ittihad(persatuan), peduli, musyawarah, tanggung jawab, kesetaraan, kesabaran, kejujuran, kasih sayang, penghargaan al-tha'ah(patuh/taat pada Allah,Rasul,pemimpin).
Ciri khas yang dimiliki pesantren seperti tersebut diatas terbentuk dalam diri santri melalui proses interaksi yang alami antara pengajar(ustad/kyai) dengan santri, atau antar sesama santri, yang menyebabkan timbulnya suatu kebiasaan atau karakter yang positif, karena hal tersebut tidak diajarkan melalui lisan saja tetapi juga dalam contoh perbuatan  sehari- hari. Jadi tidak salah kalau pesantren disebut penjaga karakter bangsa
E. Penutup
Pondok pesantren merupakan lembaga yang asli dan tertua di Indomesia. Keberadaannya sudah teruji oleh zaman, sehingga sampai saat ini masih bisa bertahan dengan berbagai macam dinamikanya. Ciri khas yang dimiliki oleh pesantren dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain adalah pola pendidikan yang berjalan selama duapuluh empat jam dengan menkondisikan para santri dalam satu lokasi asrama sehingga mempermudah mengaplikas sistem pendidikan yang total.
Selain itu pendidikan di pondok pesantren juga mengajarkarkan nilai - nilai yang positif yang diajarkan melalui contoh dan teladan yang nyata oleh para guru (ustad) dan teman santri yang senior,sehingga bisa membentuk masyarakat yang berkarakter positif.
Daftar Pustaka
Ali, Atabik-Muhdhor, Ahmad Zuhri (1996) Kamus Kontemporer Indonesia (Al-‘Ashry), Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum
Arifi, Ahmad (2010), Politik Pendidikan Islam, Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Sleman : Teras
Badruzaman, Abad (2010) Membangun Keshalehan Sosial, Sleman : Teras
Departemen Agama RI (2003) Pola Pembelajaran Pesantren, Departemen Agama RI, Jakarta : Departemen Agama RI
Husaini, Adian (2012) Pendidikan Islam,Membentuk Manusia Berkarakter. Depok : Adabi Press
Kasali, Rhenald(2014), Let's Change : Kepemimpinan, Keberanian, Dan Perubahan, Jakarta  : PT Kompas Media Nusantara
Lebang, Toni,(2007), Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lickona, Thomas (1992) Educating For Character :How Our School Can Teach Respect and Responbility New York, Bantam Books.
Wibowo,A Setyo, Cahyadi, Haryanto (2014) Mendidik Pemimpin Dan Negarawan Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Lamlera
Wibowo, Agus (2012) Pendidikan Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.









1. Tomi Lebang, Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,2007) h.175
[2] A.Setyo Wibowo,Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin Dan NegarawanDialektika Filsafat Pendidikan Politi Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Lamlera 2014)h 287
[3) Thomas Lickona, Educating For Character :How Our School Can Teach Respect and Responbility (New York, Bantam Books,1992).
[4] Atabik Ali-Ahmad Zuhri Muhdhor, Kamus Kontemporer Indonesia (Al-‘Ashry), (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 1408
[5] Pola Pembelajaran Pesantren, Departemen Agama RI, (Jakarta : 2003), h. 5