A. Pendahuluan
Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan
yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara, tidak terkecuali Indonesia.
Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan
kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin
kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi
kepentingan masing-masing bangsa dan negara.
Di bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin
ketat, sehingga semakin mempersulit posisi negara-negara miskin atau berkembang
seperti Indonesia.Banyak produk - produk asing misalnya seperti apel merah dari Washington,
anggur merah, kelengkeng, buah pir Cina, pisang Cavendish, bahkan sampai bawang
merahpun masuk begitu bebas tanpa bisa dibendung, dengan dalih "perdagangan bebas". Globalisasi
ekonomi ini sesungguhnya didukung oleh sebuah kekuatan yang luar biasa
hebatnya, yaitu apa yang disebut liberalisme ekonomi, yang sering juga disebut
kapitalisme pasar bebas. Kapitalisme pasar bebas ini mempunyai tiga ciri, yaitu
pertama, sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu;
kedua, barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas yang bersifat kompetitif;
ke tiga, modal diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba.
Bagi negara-negara berkembang, sistem kapitalisme pasar bebas jelas akan sangat
merugikan, sebab kekuatan modal besar akan bisa menggilas produk - produk dalam negeri.yang tidak akan mampu bersaing dengan produk negara
maju.
Sementara itu
dalam bidang politik dan pertahanan keamanan terjadi pula pergeseran nilai.
Misalnya, globalisasi di bidang politik tampak, bahwa demokrasi dan HAM telah
dijadikan oleh dunia internasional untuk menentukan apakah negara tersebut
dinilai sebagai negara beradab atau bukan?
Beberapa negara timur tengah misalnya telah porak poranda karena politik yang
dianut di negara tersebut tidak sesuai dengan HAM dengan yang ditetapkan dunia
barat, sehingga menuntut pihak asing untuk ikut campur di negara tersebut.
Dalam bidang sosial dan budaya, dampak globalisasi
antara lain adalah meningkatnya individualisme, perubahan pada pola kerja,
terjadinya pergeseran nilai kehidupan dalam masyarakat. Saat ini di kalangan
generasi muda banyak yang seperti kehilangan jati dirinya, sehingga ada yang
melampiaskan memakai obat - obatan terlarang.
B.
Pendidikaan berkwalitas
Untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi
adalah dengan meningkatkan kwalitas pendidikan. Pendidikan yang berkwalitas
harus bisa mencetak individu yang mempunyai kreatifitas yang tinggi, tangguh,
tidak mudah menyerah, dan tentunya mempunyai karakter budaya bangsa yang kuat.
Jika tidak maka individu itu akan jadi pecundang
di negerinya sendiri artinya menjadi penonton atau penaunggu sedekah dari
bangsa lain yang menguasai negerinya.
"Bangsa
apa pun, apalagi bangsa kita, tidak akan mungkin dapat mencapai kemajuan
tanpa sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik tidak akan
dapat kita peroleh tanpa pendidikan yang baik." kata Yusuf Kalla dalam
pertemuan dengan pengurus Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta.[i]
Pendidikan yang berkwalitas juga harus menjadi
proses pembudayaan manusia untuk dijadikan manusisa seutuhnya sesuai dengan
karakter bangsa atau masyarakatnya. Pendidikan bukanlah mesin "ATM"
yang bisa digunakan untuk mentransfer suatu nilai dengan cepat tanpa
memperhatikan daya serap anak didik, pendidikan juga bukan merupakan progaram
komputer yang bisa dengan cepat meng copy - paste nilai kedalam otak
anak didik.
Pendidikan yang berkwalitas adalah pendidikan yang
bukan mencetak anak didik yang jago menghafal, mencotek, mudah depresi, minder,
suka melakukan bullying(untuk mendapat pengakuan dari adik kelas) tetapi
pendidikan yang bisa mencetak rasa
peduli pada sesama, kreatif, mandiri, rasional dan tidak mudah menyerah.
Pendidikan yang berkwalitas harus bisa menghasilkan
banyak pemimpin. Pemimpin yang baik menurut Ki Hajar Dewntara adalah pemimpin
yang mempunyai sifat Ing Ngarso Sung tolodo, In Madyo Mangu Karso, Tut Wuri
Handayani yaitu pemimpin yang jika didepan masyarakat harus bisa jadi
teladan, ditengah masyarakat harus bisa memberi semangat, dan jika dibelakang
bisa menjadi pendorong.
Menurut Platon untuk mendidik calon pemimpin ada
tiga pengandaian dasar yaitu yang pertama, pendidikan itu mendidik jiwa
anak didik. Dengan memahami jiwa menurut
Platon membuat kita sadar bahwa pendidikan harus bisa mengarahkan jiwa anak
didik kearah kebenaran yang sejati. Kedua, Imitasi artinya pendidikan
harus bisa meniru keutamaan lingkungan sekelilingnya, dengan begitu
pendidikan bisa menciptakan sensebilitas (kepekaan rasa merasa). Ketiga,
konsisten dengan prinsip bahwa hidup itu harus direngkuh.[ii]
Untuk mendidik anak didik yang dapat menjadi
pemimpin tentunya memerlukan suatu figur yang mempunyai integritas untuk
memajukan bangsa ini untuk dijadikan panutan dan teladan.
C.Pentingnya karakter
bagi kemandirian bangsa
Negara Jepang yang pada awal Maret 2011, terjadi gempa
Tsunami, yang menurut Kompas.com tinggi gelombang air laut yang mencapai
daratan mencapai 4 meter dan kekuatan gempanya mencapai 8,9 SR, benar-benar
melumpuhkan negeri matahari tersebut. Bagaimana jika peristiwa itu
terjadi di Indonesia, maka secepat kilat para pewarta baik cetak atau
elektronik mengabarkan orang yang meratap dan berurai air mata akibat bencana
itu. Para pewarta seakan beradu cepat, akurat, tajam, dan terpercaya untuk menampilkan
dan mempertontonkan kemalangan dan derita masyarakat. Sementara para petinggi
dan pesohor negeri saling mengkritik dan mencaci terhadap penanganan bencana
tersebut untuk berebut simpati.
Tetapi peristiwa tersebut tidak terjadi di negeri
Jepang, para pewarta cetak ataupun elektronik mengabarkan dengan santun dan
hati-hati.Mereka mengabarkan bencana tersebut dengan penuh kearifan dan jauh
dari provokasi. Mereka tidak menampilkan orang yang meraung - raung karena
kehilangan sanak famili dan harta bendanya. Mereka mengabarkan orang-orang yang
tertib saat antri menerima bantuan dari para sukarelawan. Mereka mengabarkan
bahwa malapetaka yang hebat itu tidak meruntuhkan semangat dan karakter bangsa
Jepang.
Karakter yang kuat perlu dimiliki suatu bangsa dalam
mempertahankan keberadaan bangsa tersebut. Thomas Lickona berpendapat bahwa,
"Sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, ketika karakternya
tergadai."[iii]
Membentuk bangsa yang berkarakter bukan suatu upaya
mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi
mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus
ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan
reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi kebiasaan
dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus
melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga,
sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu,
langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan
jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga
stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan
masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan
yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang
memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya
pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk
pembentukan karakter. Pendidikan
karakter, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari
itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang
luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut diberikan
dan lakukan dengan disiplin, sehingga terbentuklah suatu kebiasaan atau budaya.
D.Pesantren
dan pembangunan karakter
Tidak ada data resmi tentang kapan pesantren atau pondok pesantren pertama
muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal
di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren
sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di Pulau Jawa
sekitar permulaan abad ke-15 atau kurang lebih 500 tahun yang lalu. Selama
kurun waktu hampir setengah milenium itu, lembaga pesantren telah mengalami
banyak perubahan di berbagai segi dan telah memainkan berbagai macam peran
strategis dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Pada era walisongo, peranan
terpenting dari pondok pesantren tampak dalam penyebaran agama Islam di pulau
Jawa. Pesantren dengan figur kiayi atau wali juga memiliki kekuatan politis
untuk melegitimasi sebuah kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan
Demak dan Pajang. Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan
Belanda, dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda
bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah
sistem pendidikan tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa
sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan
hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan
sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform” penyebaran dan
sosialisasi Islam.
Kata pondok berasal dari bahasa arab “funduq”
yang berarti ruang tidur, asrama, atau wisma sederhana.[iv] Maka
pondok memang pada awalnya adalah tempat penampungan sederhana bagi para santri
yang jauh dari tempat asalnya. Bahkan kini “funduq” juga dapat diartikan sebagai hotel mewah.
Adapun pesantren berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti
ilmuwan atau cendikiawan (Hindu), maka pesantren sendiri adalah tempat
pendidikan untuk mencetak dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan atau cendikiawan
(Hindu).[v]
Pondok pesantren bukan hanya tempat untuk melakukan
untuk melakukan tranfer ilmu dan teknologi,tetapi juga suatu lembaga yang
memiliki pola atau sistem untuk membentuk masyarakat yang bisa berbeda dengan
masyarakat sekitarnya.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas,
pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan lembaga pendidikan yang
lain, salah satu kekhasan pesantren adalah tetap mempertahankan kemandirian dan
hidup kolektif yang tidak bisa dipisahkan sifat al-ukhuwwah (persaudaraan),
al-ta'awun(tolong menolong), al-ittihad(persatuan), peduli, musyawarah,
tanggung jawab, kesetaraan, kesabaran, kejujuran, kasih sayang, penghargaan
al-tha'ah(patuh/taat pada Allah,Rasul,pemimpin).
Ciri khas yang dimiliki pesantren seperti tersebut
diatas terbentuk dalam diri santri melalui proses interaksi yang alami antara
pengajar(ustad/kyai) dengan santri, atau antar sesama santri, yang menyebabkan
timbulnya suatu kebiasaan atau karakter yang positif, karena hal tersebut tidak
diajarkan melalui lisan saja tetapi juga dalam contoh perbuatan sehari- hari. Jadi tidak salah kalau
pesantren disebut penjaga karakter bangsa
E. Penutup
Pondok pesantren merupakan lembaga yang asli dan
tertua di Indomesia. Keberadaannya sudah teruji oleh zaman, sehingga sampai
saat ini masih bisa bertahan dengan berbagai macam dinamikanya. Ciri khas yang
dimiliki oleh pesantren dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain adalah
pola pendidikan yang berjalan selama duapuluh empat jam dengan menkondisikan
para santri dalam satu lokasi asrama sehingga mempermudah mengaplikas sistem
pendidikan yang total.
Selain itu pendidikan di pondok pesantren juga
mengajarkarkan nilai - nilai yang positif yang diajarkan melalui contoh dan
teladan yang nyata oleh para guru (ustad) dan teman santri yang senior,sehingga
bisa membentuk masyarakat yang berkarakter positif.
Daftar
Pustaka
Ali, Atabik-Muhdhor, Ahmad Zuhri
(1996) Kamus Kontemporer Indonesia (Al-‘Ashry), Yogyakarta : Yayasan Ali
Maksum
Arifi, Ahmad (2010), Politik
Pendidikan Islam, Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di
Tengah Arus Globalisasi. Sleman : Teras
Badruzaman, Abad (2010) Membangun
Keshalehan Sosial, Sleman : Teras
Departemen Agama RI (2003)
Pola Pembelajaran Pesantren, Departemen Agama RI, Jakarta : Departemen
Agama RI
Husaini, Adian (2012) Pendidikan
Islam,Membentuk Manusia Berkarakter. Depok : Adabi Press
Kasali, Rhenald(2014), Let's
Change : Kepemimpinan, Keberanian, Dan Perubahan, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Lebang, Toni,(2007), Berbekal
Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lickona, Thomas (1992) Educating
For Character :How Our School Can Teach Respect and Responbility New York,
Bantam Books.
Wibowo,A Setyo, Cahyadi, Haryanto
(2014) Mendidik Pemimpin Dan Negarawan Dialektika Filsafat Pendidikan Politik
Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, Yogyakarta : Penerbit
Lamlera
Wibowo, Agus (2012) Pendidikan
Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
[2] A.Setyo
Wibowo,Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin Dan NegarawanDialektika Filsafat
Pendidikan Politi Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, (Yogyakarta :
Penerbit Lamlera 2014)h 287
[3) Thomas Lickona, Educating For Character :How Our School Can Teach Respect
and Responbility (New York, Bantam Books,1992).
[4] Atabik Ali-Ahmad Zuhri Muhdhor, Kamus
Kontemporer Indonesia (Al-‘Ashry), (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996),
h. 1408
Tidak ada komentar:
Posting Komentar