http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-074f-388e-fa04?ln maswin: Oktober 2025

Rabu, 29 Oktober 2025

 

                                  STAI AL MARHALAH AL ULYA

                                                              BEKASI                         

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL



Mata Kuliah       : Supervisi Pendidikan                              Dosen Pengampu : Hadi Winarno

Semester/Prodi : 5 / PAI                                                     Waktu     : 90 Menit



Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan baik!

1.  Mengapa supervisi pendidikan penting untuk diadakan, jelaskan dalam berbagai perspektif!

2.   Menurut pengamatan dan analisis saudara, apakah adanya kegiatan supervisi dalam dunia                        pendidikan dapat meningkatkan kualitas pendidikan? Jelaskan!

3.  Jelaskan, mengapa tujuan supervisi pendidikan adalah peningkatan layanan administrasi,                         peningkatan layanan pengelolaan/akademik, dan peningkatan kualitas pendidikan?

4.  Mengapa seorang supervisor pendidikan perlu memperhatikan prinsip-prinsip supervisi pendidikan?       Jelaskan!

5. Bagaimanakah sikap dan pandangan saudara ketika menumpai ada seorang supervisor pendidikan          mengabaikan prinsip-prinsip supervisi pendidikan dalam melaksanakan tugas supervisinya? Jelaskan!


Selamat mengerjakan!


 

                              


STAI AL MARHALAH Al-Ulya                                       BEKASI                         

Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah       : Perencanaan Pemblj.        Waktu : 90 Menit  Semester/Prodi : 5 / PAI


1.  Menurut pendapat anda, pentingkah matakuliah perencanaan pembelajaran diajarkan kepada mahasiswa calon guru!

2.   Dalam penulisan RPP/Modul Ajar  

    a.mengapa kegiatan                        pendahuluan(apaersepsi), proses (inti) dan penutup(evaluasi) harus ditulis berurutan,

 b.bagaima kalau dari satu kegiatan tersebut ditiadakan?

3.Berikan komentar anda terhadap sistem perencanaan pendidikan kita saat ini jika dipandang dari sisi kemajuan ilmu, teknologi dan seni!

4.Langkah-langkah dalam perencanaan pembelajaran meliputi:

     a.  Memahami kurikulum

     b.  Menguasai Materi

     c.  Menyusun RPP/Modul Ajar

     d.  Melaksanakan pembelajaran

    e.  Evaluasi hasil proses belajar                   mengajar yang telah dilaksanakan 

Bagaimana langkah yang saudara lakukan agar ke lima aspek di atas dapat di laksanakan dengan baik!


Selamat Mengerjakan..

 

 

 

  


Senin, 27 Oktober 2025

 









Pendidikan Pesantren di Era Globalisasi dalam Menuju Indonesia Emas

oleh : Hadi Winarno 

Abstrak

Pendidikan pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, memiliki peran strategis dan berkelanjutan dalam membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkarakter, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045. Era globalisasi menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi pesantren untuk melakukan transformasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran krusial pesantren dalam mencetak generasi emas yang tidak hanya menguasai ilmu agama dan teknologi, tetapi juga memiliki integritas moral, kemandirian, dan semangat moderasi beragama (wasathiyah Islam). Hasilnya menunjukkan bahwa integrasi kurikulum tradisional dengan kurikulum modern, penguatan literasi digital, serta pengembangan kewirausahaan merupakan kunci bagi pesantren untuk tetap relevan dan berkontribusi signifikan terhadap pencapaian Indonesia Emas.

Pendahuluan

Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera pada perayaan satu abad kemerdekaan. Salah satu pilar utama untuk mencapai visi ini adalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)¹. Di tengah arus globalisasi yang serba cepat dan tantangan moral-digital, lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren dituntut untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya.

Pesantren memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat². Fungsinya yang holistik dalam membentuk karakter, moral, dan kemandirian santri menjadikannya pilar strategis dalam mempersiapkan generasi emas yang berintegritas dan kompeten. Karya ilmiah ini akan menguraikan bagaimana pendidikan pesantren menghadapi dinamika globalisasi dan perannya dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.

Tantangan dan Peluang Pesantren di Era Globalisasi

Tantangan

Arus globalisasi dan revolusi digital menghadirkan tantangan yang kompleks bagi pesantren, terutama pesantren tradisional. Tantangan utama meliputi:

 * Literasi Digital dan Infrastruktur: Banyak pesantren, khususnya di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan dalam infrastruktur teknologi dan kurangnya literasi digital yang memadai di kalangan pengajar dan santri, berpotensi membuat lulusannya kurang siap bersaing di pasar kerja global³.

 * Degradasi Moral dan Ideologi Transnasional: Kemudahan akses informasi di era digital membuka peluang masuknya konten negatif dan paham keagamaan transnasional yang ekstrem, yang dapat menggerus nilai-nilai kebangsaan, moderasi beragama, serta kearifan lokal (local wisdom)⁴.

Peluang

Di sisi lain, globalisasi juga memberikan peluang besar bagi pesantren:

 * Pengembangan Model Pembelajaran Terintegrasi: Pesantren dapat mengintegrasikan kurikulum agama (kitab kuning) dengan ilmu pengetahuan umum, keahlian vokasional, dan penguasaan teknologi. Integrasi ini menghasilkan lulusan yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan spiritual, intelektual, dan keterampilan (skill).

 * Ekspansi Dakwah dan Jejaring: Pemanfaatan teknologi digital memungkinkan pesantren memperluas jangkauan dakwah dan nilai-nilai moderasi Islam ke audiens yang lebih luas, baik nasional maupun internasional⁵.  Selain itu, jejaring alumni yang kuat (ikatan keluarga santri) dapat dimanfaatkan untuk kolaborasi ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.

Peran Pesantren Menuju Indonesia Emas 2045

Pesantren memainkan peran vital dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045 melalui beberapa kontribusi kunci:

A. Pembentukan Karakter dan Moralitas Bangsa

Fokus utama pendidikan pesantren adalah pendidikan karakter (tarbiyah)⁶. Melalui sistem asrama (pondok) dan pembiasaan sehari-hari, pesantren menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab yang merupakan fondasi moral bagi calon pemimpin masa depan. Pendidikan moralitas ini menjadi benteng pertahanan terhadap dekadensi moral dan korupsi.

B. Pencetakan SDM Unggul dan Mandiri

Untuk mewujudkan Indonesia Emas, dibutuhkan generasi yang memiliki kemandirian dan keterampilan wirausaha. Banyak pesantren modern kini mengembangkan unit bisnis (koperasi, pertanian, industri kecil) dan memberikan pelatihan vokasional seperti desain grafis, coding, pertanian terpadu, hingga perbankan syariah⁷. Hal ini sejalan dengan tuntutan pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam pilar Indonesia Emas.

C. Penguatan Moderasi Beragama (Wasathiyah Islam)

Pesantren berperan sentral dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menanamkan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama (Wasathiyah Islam)^8. Santri dididik untuk memahami ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, menghargai perbedaan, dan menjadi agen perdamaian. Ini krusial dalam membangun ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan yang inklusif.

Penutup

Pendidikan pesantren di era globalisasi berada pada persimpangan antara tradisi dan modernitas. Untuk melahirkan Generasi Emas 2045 yang berintegritas, mandiri, dan berdaya saing global, pesantren harus terus melakukan transformasi yang bijak. Kunci keberhasilan terletak pada harmonisasi kurikulum, penguatan infrastruktur digital, dan pelestarian nilai-nilai moralitas serta moderasi beragama. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi penjaga tradisi keilmuan Islam tetapi juga pilar utama dalam pembangunan SDM unggul menuju Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera di tahun 2045.

Catatan Kaki

 ¹ Abdul Rasyid, "Pesantren dan Bonus Demografi dalam Mewujudkan Santri Unggul 2045 (Studi Wacana Visi Indonesia Emas)," Rabbani: Jurnal Pendidikan Agama Islam 3, no. 2 (2022): 152.

 ² Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Pasal 4.

 ³ Imam Hanafi, Moh. Wardi, dan Eko Adi Sumitro, "Peran Pesantren Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pendidikan Karakter," Jurnal Ilmiah Edukatif 9, no. 2 (2023): 69-77.

 ⁴ Ricky Satria Wiranata, "Tantangan, Prospek dan Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter di Era Revolusi Industri 4.0," (2019): 1-15.

 ⁵ Mohammad Ghofirin, "Transformasi pesantren menuju Indonesia Emas 2045," ANTARA News, 21 Oktober 2025.

 ⁶ A. Sabiq, "Peran Pesantren Dalam Membangun Moralitas Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045," Wawasan: Jurnal Kediklatan Balai Diklat Keagamaan Jakarta 3, no. 1 (2022): 16-30.

⁷ Netralnews, "Peran Santri Menuju Indonesia Emas 2045," 16 Juni 2023, diakses 27 Oktober 2025.

 ⁸ K.H. Ma'ruf Amin, "Pesantren, Pilar Strategis Wujudkan Generasi Emas Indonesia," Komdigi, 22 Oktober 2021.


Daftar Pustaka

Amin, K.H. Ma'ruf. "Pesantren, Pilar Strategis Wujudkan Generasi Emas Indonesia." Komdigi, 22 Oktober 2021.

Ghofirin, Mohammad. "Transformasi pesantren menuju Indonesia Emas 2045." ANTARA News, 21 Oktober 2025.

Hanafi, Imam, Moh. Wardi, dan Eko Adi Sumitro. "Peran Pesantren Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pendidikan Karakter." Jurnal Ilmiah Edukatif 9, no. 2 (2023): 69-77.

Netralnews. "Peran Santri Menuju Indonesia Emas 2045." 16 Juni 2023. Diakses 27 Oktober 2025.

Rasyid, Abdul. "Pesantren dan Bonus Demografi dalam Mewujudkan Santri Unggul 2045 (Studi Wacana Visi Indonesia Emas)." Rabbani: Jurnal Pendidikan Agama Islam 3, no. 2 (2022): 151-160.

Sabiq, A. "Peran Pesantren Dalam Membangun Moralitas Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045." Wawasan: Jurnal Kediklatan Balai Diklat Keagamaan Jakarta 3, no. 1 (2022): 16-30.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Wiranata, Ricky Satria. "Tantangan, Prospek dan Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter di Era Revolusi Industri 4.0." 2019.


Minggu, 26 Oktober 2025

Pondok Pesantren sebagai Penjaga Karakter Bangsa

(Memperingati Hari Santri, 22 Oktober 2025)

Oleh : Hadi Winarno

A. Pendahuluan

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam membentuk moral dan karakter bangsa. Sejak masa pra-kemerdekaan, pesantren tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga pusat perjuangan dan pembinaan nilai-nilai kebangsaan. Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pesantren adalah “subkultur yang melahirkan manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.”¹

Di tengah krisis moral dan tantangan globalisasi, eksistensi pesantren semakin relevan. Nilai-nilai seperti kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan tanggung jawab yang diajarkan di pesantren menjadi benteng moral bagi generasi muda. Dengan demikian, pesantren berfungsi bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga karakter bangsa.

B. Pembahasan

1. Pesantren dan Pembentukan Karakter

Pesantren menekankan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan moralitas. Santri tidak hanya diajarkan tentang ilmu agama, tetapi juga dilatih untuk hidup sederhana, disiplin, dan mandiri. Kiai Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”²

Nilai-nilai pendidikan pesantren sejalan dengan konsep pendidikan karakter nasional, yang menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial. Karakter seperti kejujuran dan kepedulian sosial tumbuh secara alami melalui kehidupan sehari-hari di pesantren.

2. Pesantren dalam Konteks Kebangsaan

Sejak masa perjuangan kemerdekaan, pesantren telah menjadi pusat perlawanan terhadap penjajahan. Tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).³
Pesantren menanamkan semangat nasionalisme religius, yaitu nasionalisme yang berakar pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Dalam konteks modern, pesantren juga berperan dalam memperkuat wawasan kebangsaan melalui pendidikan multikultural dan toleransi. Dengan semangat ukhuwah (persaudaraan), pesantren menjadi ruang pertemuan berbagai latar belakang sosial yang memperkuat keutuhan bangsa.

3. Tantangan Pesantren di Era Globalisasi

Era digital membawa tantangan baru bagi pesantren, terutama dalam menjaga otentisitas nilai di tengah arus budaya luar. Jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan keterampilan abad ke-21, pesantren bisa tertinggal dalam kompetisi global.
Namun, tantangan ini sekaligus menjadi peluang. Dengan mengembangkan inovasi pendidikan dan teknologi, pesantren dapat melahirkan generasi santri yang berkarakter religius, kritis, dan kreatif. Menurut KH. Ma’ruf Amin, “Santri masa depan bukan hanya ahli fikih, tetapi juga harus ahli teknologi dan ekonomi syariah.”⁴

4. Pesantren sebagai Pusat Keteladanan Sosial

Selain fungsi pendidikan, pesantren juga menjadi pusat keteladanan sosial di masyarakat. Melalui kegiatan dakwah, sosial, dan ekonomi, pesantren memperkuat budaya gotong royong dan solidaritas. KH. Hasyim Muzadi pernah menyatakan bahwa “Pesantren adalah benteng terakhir moralitas bangsa di tengah derasnya arus globalisasi.”⁵
Dengan demikian, peran pesantren sebagai penjaga karakter bangsa tidak hanya bersifat internal bagi santri, tetapi juga eksternal bagi masyarakat sekitar.

C. Kesimpulan

Pondok pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga yang berperan besar dalam menjaga moralitas, nasionalisme, dan spiritualitas bangsa. Dalam dinamika zaman, pesantren terus beradaptasi tanpa kehilangan nilai-nilai keasliannya.

Pesantren menjadi benteng pertahanan bangsa di bidang karakter, mengajarkan bahwa kemajuan tidak boleh mengorbankan moral. Dengan kombinasi antara ilmu agama, kebangsaan, dan keterampilan modern, pesantren akan terus menjadi penjaga karakter bangsa menuju Indonesia yang berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi.


  1. Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), hlm. 45.
  2. Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1962), hlm. 23.
  3. KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jombang: Tebuireng Press, 1938), hlm. 12.
  4. KH. Ma’ruf Amin, Pesantren dan Ekonomi Umat (Jakarta: LP3ES, 2019), hlm. 37.
  5. KH. Hasyim Muzadi, Pesantren dan Tantangan Global (Malang: Universitas Islam Malang, 2004), hlm. 18.

Jakarta, 22 Oktober 2025


Selasa, 21 Oktober 2025

 


A. Peran Supervisor sebagai Pengambil Keputusan

A. Pengantar

Supervisor dalam konteks pendidikan memiliki peran strategis dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan kinerja guru. Salah satu peran penting yang dimiliki seorang supervisor adalah sebagai pengambil keputusan (decision maker). Keputusan yang diambil supervisor akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas proses belajar mengajar, pengembangan profesional guru, serta pencapaian tujuan lembaga pendidikan.

B. Pengertian Supervisor sebagai Pengambil Keputusan

Menurut Sergiovanni (1987), supervisi pendidikan adalah proses membantu guru dan staf sekolah dalam mengembangkan kemampuan profesionalnya agar pembelajaran lebih efektif. Dalam menjalankan fungsi ini, supervisor perlu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan data dan analisis terhadap situasi sekolah.

Sebagai pengambil keputusan, supervisor berperan dalam menentukan langkah, strategi, atau kebijakan yang relevan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keputusan ini mencakup bidang akademik, manajerial, hingga pembinaan hubungan antarwarga sekolah.

C. Jenis Keputusan yang Diambil oleh Supervisor

  1. Keputusan Teknis (Technical Decisions)
    Meliputi keputusan yang berkaitan dengan metode, media, dan pendekatan pembelajaran yang efektif.
    Contoh: menentukan strategi supervisi kelas yang sesuai dengan karakteristik guru.
  2. Keputusan Administratif (Administrative Decisions)
    Berhubungan dengan pengelolaan sumber daya manusia, waktu, dan sarana prasarana pendidikan.
    Contoh: menetapkan jadwal supervisi, pembagian tugas guru, atau alokasi pelatihan.
  3. Keputusan Akademik (Instructional Decisions)
    Berkaitan langsung dengan peningkatan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.
    Contoh: memutuskan bentuk evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum.
  4. Keputusan Relasional (Interpersonal Decisions)
    Menyangkut hubungan dan komunikasi antara supervisor, guru, dan tenaga kependidikan.
    Contoh: mengambil keputusan dalam menyelesaikan konflik antar guru.

 

D. Prinsip dalam Pengambilan Keputusan Supervisi

Seorang supervisor harus berpegang pada prinsip-prinsip pengambilan keputusan yang baik, antara lain:

  1. Berbasis Data (Data-Driven Decision) – keputusan harus didasarkan pada hasil observasi, penilaian, dan bukti empiris.
  2. Objektif dan Rasional – tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau emosional.
  3. Partisipatif – melibatkan guru dan staf sekolah dalam proses pengambilan keputusan untuk menciptakan rasa memiliki.
  4. Keadilan dan Transparansi – keputusan harus adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Kontekstual – disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan budaya sekolah.

 

E. Peran Supervisor dalam Proses Pengambilan Keputusan

  1. Sebagai Analis – mengidentifikasi masalah dan menganalisis akar penyebabnya sebelum membuat keputusan.
  2. Sebagai Konsultan – memberikan pertimbangan profesional bagi guru dalam menyelesaikan persoalan pembelajaran.
  3. Sebagai Fasilitator – menyediakan dukungan dan sumber daya untuk pelaksanaan keputusan.
  4. Sebagai Evaluator – menilai efektivitas keputusan yang telah diambil dan melakukan perbaikan bila diperlukan.
  5. Sebagai Pemimpin – memberikan arah dan inspirasi agar keputusan dapat dijalankan secara konsisten oleh seluruh warga sekolah.

 

B. Proses, Model,Etika, Stratehi Pengambilan Keputusan,

A. Proses Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah proses memilih satu di antara berbagai alternatif tindakan yang tersedia untuk memecahkan suatu masalah. Menurut George R. Terry (2003), pengambilan keputusan merupakan pemilihan alternatif perilaku dari dua atau lebih kemungkinan yang ada untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dalam konteks supervisi pendidikan, proses pengambilan keputusan melibatkan langkah-langkah sistematis agar keputusan yang diambil tepat, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tahapan Proses Pengambilan Keputusan:

1.Identifikasi Masalah
Supervisor mengenali permasalahan atau kebutuhan yang memerlukan keputusan, misalnya penurunan kualitas pembelajaran atau rendahnya motivasi guru.

2.Pengumpulan Informasi dan Data
Data diperoleh dari hasil observasi, wawancara, atau laporan akademik untuk memahami situasi secara menyeluruh.

3. Analisis Alternatif
Supervisor merumuskan beberapa alternatif solusi beserta kelebihan dan kekurangannya.

4. Pemilihan Alternatif Terbaik
Alternatif dipilih berdasarkan pertimbangan rasional, efektivitas, dan dampaknya terhadap tujuan lembaga.

5. Pelaksanaan Keputusan
Keputusan dilaksanakan melalui koordinasi, pengarahan, dan dukungan sumber daya.

6. Evaluasi dan Umpan Balik
Hasil keputusan dievaluasi untuk mengetahui efektivitasnya dan menjadi dasar perbaikan di masa mendatang.

B. Model Pengambilan Keputusan

Terdapat beberapa model pengambilan keputusan yang biasa digunakan dalam organisasi pendidikan:

1.    Model Rasional (Rational Model)
Berdasarkan analisis logis dan sistematis terhadap data. Keputusan diambil setelah menimbang semua alternatif.

Contoh: Supervisor menggunakan data hasil supervisi kelas untuk menentukan pelatihan guru.

2.    Model Intuitif (Intuitive Model
Berdasarkan intuisi, pengalaman, dan penilaian pribadi tanpa analisis mendalam. Cocok digunakan saat waktu terbatas.

Contoh: Supervisor segera memutuskan strategi darurat ketika terjadi konflik mendadak di sekolah.

3.    Model Partisipatif (Participative Model)
Melibatkan banyak pihak (guru, staf, komite sekolah) dalam proses pengambilan keputusan.

Contoh: Penentuan jadwal supervisi melalui musyawarah bersama guru. 

4.    Model Inkremental (Incremental Model)
Keputusan diambil secara bertahap, melalui penyesuaian kecil yang berkelanjutan.

Contoh: Perubahan kurikulum dilakukan sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan sekolah.

5.    Model Campuran (Mixed Scanning Model)
Kombinasi antara model rasional dan inkremental — supervisor menganalisis secara umum lalu memperbaiki detail secara bertahap.

C. Etika Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan keputusan, aspek etika menjadi hal penting agar keputusan tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan bermoral.

Prinsip Etika Pengambilan Keputusan:

1.                  Kejujuran (Integrity) – Keputusan harus diambil secara jujur berdasarkan data dan fakta.

2.                  Keadilan (Fairness) – Semua pihak harus diperlakukan setara tanpa diskriminasi.

3.                Tanggung Jawab (Accountability) – Supervisor bertanggung jawab atas konsekuensi            keputusan yang diambil. 

4.               Keterbukaan (Transparency) – Proses pengambilan keputusan harus terbuka dan dapat       dipertanggungjawabkan.

5.              Kepentingan Bersama (Common Good) – Keputusan harus diarahkan untuk                         kepentingan lembaga dan peserta didik, bukan kepentingan pribadi.

6.             Profesionalisme (Professional Ethics) – Keputusan harus sesuai dengan kode etik               profesi pendidikan.

          Etika menjadi penyeimbang antara rasionalitas dan nilai kemanusiaan agar keputusan            yang diambil tidak merugikan pihak lain. 

         D. Strategi Pengambilan Keputusan

Agar keputusan yang diambil efektif dan tepat sasaran, supervisor perlu menerapkan strategi tertentu, antara lain:

1.   Berbasis Data (Data-Based Decision Making)
     Mengandalkan hasil observasi, penilaian, dan data faktual sebagai dasar pengambilan       keputusan.

2.   Partisipatif dan Kolaboratif
     Melibatkan guru dan tenaga kependidikan agar keputusan yang diambil memiliki                 dukungan bersama (shared commitment).

3.   Konsultatif dan Reflektif
    Supervisor berdiskusi dan melakukan refleksi terhadap berbagai masukan sebelum            memutuskan langkah terbaik.

4.   Prioritas Masalah (Priority Setting)
    Menentukan tingkat urgensi masalah agar keputusan fokus pada hal yang paling                berdampak.

5.   Komunikatif
    Setelah keputusan diambil, supervisor menyosialisasikannya dengan jelas kepada            seluruh pihak yang terlibat agar pelaksanaannya efektif.

6.   Adaptif terhadap Perubahan
    Dalam era dinamis, supervisor harus siap meninjau ulang keputusan dan                            menyesuaikannya dengan situasi baru.


 


Indikator Belajar

Indikator belajar adalah ukuran atau tanda-tanda yang menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Dengan kata lain, indikator belajar menggambarkan perilaku nyata atau hasil yang dapat diukur dari tujuan pembelajaran.

 

1. Pengertian Indikator Belajar

Indikator belajar adalah rumusan perilaku yang dapat diamati dan diukur untuk menunjukkan ketercapaian suatu kompetensi dasar (KD). Indikator menjadi penanda bahwa peserta didik telah memahami dan menguasai suatu materi pelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

 

2. Fungsi Indikator Belajar

  • Sebagai acuan guru dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian.
  • Menjadi pedoman peserta didik untuk memahami apa yang harus dikuasai.
  • Menjadi tolak ukur keberhasilan pembelajaran di kelas.
  • Membantu guru menyusun instrumen evaluasi yang relevan dan objektif.

 

3. Ciri-Ciri Indikator Belajar yang Baik

  • Spesifik dan terukur, menggambarkan hasil belajar yang konkret.
  • Relevan dengan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran.
  • Dapat diamati, baik melalui sikap, pengetahuan, maupun keterampilan.
  • Mengandung unsur ABCD (Audience, Behavior, Condition, Degree), yaitu siapa, apa yang dilakukan, dalam kondisi apa, dan sejauh mana keberhasilannya.

 

4. Contoh Indikator Belajar

Misalnya pada kompetensi dasar: "Memahami konsep ekosistem dan hubungan antar komponen di dalamnya."
Indikator belajarnya bisa berupa:

  • Menjelaskan pengertian ekosistem.
  • Mengidentifikasi komponen biotik dan abiotik.
  • Menganalisis hubungan antar komponen ekosistem.
  • Menyajikan hasil pengamatan tentang rantai makanan di lingkungan sekitar.

 

Taksonomi Bloom

Indikator belajar menurut Bloom didasarkan pada Taksonomi Bloom, yaitu klasifikasi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom. Taksonomi ini membantu guru menyusun indikator belajar sesuai dengan tingkatan kemampuan berpikir peserta didik, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.

1. Pengertian Menurut Bloom

Menurut Bloom, indikator belajar adalah perilaku yang dapat diamati dan diukur sebagai bukti bahwa peserta didik telah mencapai tujuan pembelajaran pada tingkat kemampuan tertentu.
Indikator tersebut dirumuskan berdasarkan domain (ranah) yang terdiri dari:

  1. Ranah Kognitif (Cognitive Domain) → berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan berpikir.
  2. Ranah Afektif (Affective Domain) → berkaitan dengan sikap, nilai, dan perasaan.
  3. Ranah Psikomotor (Psychomotor Domain) → berkaitan dengan keterampilan fisik dan tindakan.

 

2. Ranah Kognitif dan Indikator Belajarnya (Revisi Taksonomi Bloom)

Bloom (1956) membaginya menjadi 6 tingkatan kemampuan berpikir, yang direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2001).
Berikut tingkatannya dan contoh indikator belajar di masing-masing level:

 

Tingkat Kognitif

Kata Kerja Operasional (KKO)

Contoh Indikator Belajar

1. Mengingat (Remembering)

 

menyebutkan, mengidentifikasi, mencocokkan

 

Siswa dapat menyebutkan nama-nama planet di tata surya.

2. Memahami (Understanding)

menjelaskan, menafsirkan, merangkum

Siswa dapat menjelaskan proses fotosintesis.

3. Menerapkan (Applying)

menggunakan, menghitung, melaksanakan

Siswa dapat menggunakan rumus luas segitiga untuk menghitung luas bidang tertentu.

4. Menganalisis (Analyzing)

 

membedakan, menguraikan, membandingkan

 

Siswa dapat menganalisis perbedaan antara ekosistem hutan dan padang rumput.

5. Mengevaluasi (Evaluating)

menilai, mengkritik, mempertimbangkan

 

Siswa dapat menilai dampak penggunaan pestisida terhadap lingkungan.

6. Mencipta (Creating)

 

merancang, mengembangkan, menyusun

Siswa dapat merancang model sistem tata surya dari bahan bekas.

 

3. Ranah Afektif dan Indikator Belajarnya

Ranah ini berhubungan dengan sikap, minat, nilai, dan penerimaan terhadap suatu hal.
Tingkatannya meliputi:

  1. Menerima (Receiving) – menunjukkan kesediaan memperhatikan.
  2. Menanggapi (Responding) – berpartisipasi aktif.
  3. Menilai (Valuing) – menunjukkan komitmen terhadap nilai tertentu.
  4. Mengorganisasi (Organizing) – menyusun sistem nilai.
  5. Menghayati (Characterizing) – menerapkan nilai secara konsisten.

Contoh indikator:

  • Siswa menunjukkan antusiasme dalam berdiskusi kelompok.
  • Siswa menghargai perbedaan pendapat teman.

 

 

4. Ranah Psikomotor dan Indikator Belajarnya

Ranah ini berkaitan dengan keterampilan motorik dan tindakan nyata.
Contohnya:

  • Siswa menyusun alat percobaan dengan benar.
  • Siswa mengoperasikan mikroskop dengan prosedur yang tepat.
  • Siswa mendemonstrasikan cara menanam bibit dengan benar.

 

Kesimpulan

Indikator belajar menurut Bloom:

  • Disusun berdasarkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
  • Menggambarkan tahapan berpikir dari rendah ke tinggi.
  • Digunakan untuk mengukur capaian pembelajaran secara menyeluruh — pengetahuan, sikap, dan keterampilan

 

 


Merawat Tradisi untuk Membangun Peradaban Madani

Oleh: Hadi Winarno

Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, tradisi sering kali dipandang sebagai sesuatu yang kuno, tertinggal, bahkan tidak relevan dengan zaman. Padahal, tradisi adalah akar dari identitas dan moralitas suatu bangsa. Ia menyimpan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bagi terbangunnya masyarakat madani—masyarakat yang beradab, berkeadilan, dan menghormati keberagaman.

Tradisi di Nusantara bukan hanya warisan kebiasaan, melainkan sistem nilai yang mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam upacara adat, kesenian rakyat, maupun ritual keagamaan, terkandung pesan tentang gotong royong, kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai inilah yang membentuk watak manusia Indonesia: rendah hati, terbuka, dan menghormati sesama.

Masyarakat madani sejatinya lahir dari nilai-nilai yang telah lama hidup dalam budaya lokal. Prinsip musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong dalam kesulitan, serta rasa persaudaraan yang kuat—semuanya adalah wujud nyata dari tradisi yang menghidupkan demokrasi dan solidaritas sosial. Ketika tradisi dirawat, nilai-nilai tersebut akan terus hidup dan menjadi landasan bagi pembangunan bangsa yang berkeadilan dan berkeadaban.

Namun, tantangan terbesar hari ini adalah bagaimana menjadikan tradisi tetap relevan di tengah dunia yang serba digital. Generasi muda harus diajak bukan hanya untuk mengenal, tetapi juga mencintai dan mengembangkan tradisi. Kesenian daerah dapat diangkat ke media sosial, bahasa dan sastra lokal bisa diajarkan melalui platform digital, sementara kearifan lokal perlu diintegrasikan ke dalam pendidikan karakter. Dengan cara ini, tradisi tidak lagi dipandang sebagai beban masa lalu, melainkan sebagai sumber inspirasi masa depan.

Merawat tradisi berarti menjaga akar agar pohon peradaban tidak tumbang. Tradisi adalah cermin kebijaksanaan leluhur yang memberi arah di tengah kebingungan modernitas. Ia menuntun manusia agar tidak kehilangan kemanusiaannya ketika teknologi semakin canggih. Dan melalui tradisi yang terpelihara, bangsa ini dapat menapaki jalan menuju peradaban madani—sebuah tatanan kehidupan yang damai, beradab, dan penuh kasih terhadap sesama.

Bekasi, 21 Oktober 2025



Sabtu, 18 Oktober 2025


 

Pendidikan Kebebasan Menurut Paulo Freire dan Hadi Winarno: Dari Teori Pembebasan ke Praktik Sosial di Pesanggrahan

Pendahuluan

Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan, melainkan sarana untuk membentuk manusia yang merdeka dan berdaya. Dua tokoh yang mewakili semangat ini adalah Paulo Freire, seorang filsuf dan pendidik asal Brasil, serta Hadi Winarno, tokoh masyarakat dari Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang berkiprah dalam bidang sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat.
Keduanya memiliki pandangan yang sejalan: bahwa pendidikan harus menjadi jalan menuju kebebasan manusia, bukan alat penjinakan atau penindasan.

Pendidikan Kebebasan Menurut Paulo Freire

Paulo Freire dikenal luas melalui karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed. Ia mengkritik sistem pendidikan tradisional yang disebutnya sebagai pendidikan gaya “bank”, di mana guru dianggap sebagai pihak yang tahu segalanya, sementara murid hanyalah penerima pasif.
Menurut Freire, pendidikan seperti itu justru menindas kebebasan berpikir dan membunuh kreativitas peserta didik.

Sebagai gantinya, Freire menawarkan model pendidikan dialogis dan partisipatif. Dalam pendekatan ini, guru dan murid berdialog secara setara; keduanya sama-sama belajar dari pengalaman dan realitas sosial.
Tujuan utama pendidikan menurut Freire adalah membangkitkan kesadaran kritis (conscientização) — yaitu kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengubah realitas yang tidak adil. Pendidikan harus membuat manusia sadar bahwa mereka memiliki kuasa untuk memperbaiki nasibnya sendiri dan masyarakatnya.

Dengan demikian, pendidikan pembebasan versi Freire bukan hanya proses akademik, tetapi juga tindakan sosial-politik untuk menegakkan martabat dan kemanusiaan.

Pandangan dan Praktik Hadi Winarno di Pesanggrahan

Berbeda dengan Freire yang berangkat dari teori dan praksis global, Hadi Winarno mempraktikkan pendidikan kebebasan melalui kegiatan sosial dan budaya di tingkat lokal, khususnya di RW.07 Kelurahan Pesanggrahan. Sebagai tokoh masyarakat, beliau aktif mendorong warga untuk belajar dari pengalaman hidup, kebudayaan, dan kerja sama antarwarga.

Bagi Hadi Winarno, pendidikan bukan hanya urusan sekolah atau kampus, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia menekankan pentingnya pendidikan berbasis masyarakat, di mana warga belajar untuk mandiri, kreatif, dan berdaya guna bagi lingkungannya. Melalui kegiatan seperti karang taruna, pelestarian budaya Betawi, dan program sosial RW, beliau mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab, dan kebebasan berpikir.

Dalam pandangan Hadi Winarno, kebebasan sejati tidak terletak pada kebebasan tanpa arah, melainkan kemampuan masyarakat untuk menentukan masa depannya sendiri, tanpa bergantung pada bantuan luar. Pendidikan yang membebaskan berarti membangkitkan kesadaran, kepercayaan diri, dan semangat gotong royong.

Persamaan dan Relevansi Keduanya

Walaupun berasal dari konteks berbeda, pemikiran Paulo Freire dan praktik Hadi Winarno memiliki jiwa yang sama — yaitu membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan ketergantungan.

Aspek Paulo Freire Hadi Winarno
Fokus utama


Pembebasan dari penindasan sosial dan kebodohan


Pemberdayaan masyarakat dan kebebasan berkarya
Pendekatan


Pendidikan dialogis dan kesadaran kritis



Pendidikan sosial berbasis budaya dan gotong royong
Tujuan



Menciptakan manusia sadar dan merdeka berpikir



Membangun masyarakat mandiri dan berbudaya
Nilai dasar


Humanisme, keadilan sosial, kesetaraan



Kemanusiaan, kemandirian, pelestarian budaya

Keduanya sama-sama menekankan bahwa pendidikan tidak boleh menjadikan manusia pasif, tetapi harus memampukan mereka untuk mengubah realitas sosial. Freire melakukannya melalui teori kritis, sedangkan Hadi Winarno melaksanakannya melalui tindakan nyata di masyarakat.

Penutup

Pendidikan kebebasan bukan sekadar konsep ideal, tetapi kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat modern.
Paulo Freire mengajarkan bagaimana manusia bisa sadar dan bangkit dari penindasan struktural, sedangkan Hadi Winarno menunjukkan bahwa pendidikan pembebasan dapat tumbuh dari akar budaya dan kehidupan sosial masyarakat.

Melalui pemikiran dan tindakan keduanya, kita belajar bahwa pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia — menjadikan setiap individu bebas berpikir, bertanggung jawab, dan berdaya untuk membangun kehidupan yang lebih adil dan bermartabat.

Bekasi, 18 Oktober 2025



https://www.instagram.com/reel/DP-3-NFk52f/?igsh=MTk3dXg5MW5nYjU0bg==

Selasa, 07 Oktober 2025

 

    
Pengertian Korupsi
Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Kata ini berasal dari bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan atau merusak. 
Definisi korupsi dari berbagai sudut pandang
  • Menurut hukum: Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
  • Menurut Kamus Hukum Black Law Dictionary: Korupsi merupakan perbuatan untuk mendapatkan keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi. Contohnya, seseorang yang memiliki otoritas atau kepercayaan menggunakan jabatannya secara melanggar hukum demi keuntungan diri sendiri atau orang lain.
  • Menurut ahli:
    • Robert Klitgaard: Korupsi terjadi ketika ada monopoli dan diskresi (kekuasaan yang tidak terkontrol) tanpa adanya akuntabilitas.
    • Samuel Huntington: Korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma masyarakat untuk memenuhi kepentingan pribadi.
  • Secara umum: Korupsi mencakup berbagai tindakan tidak jujur, curang, atau kriminal yang dilakukan oleh individu, korporasi, atau pejabat pemerintah untuk memperoleh keuntungan pribadi. 
Bentuk-bentuk korupsi berdasarkan Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kelompok utama:
 
  1. Kerugian keuangan negara: Memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara, misalnya dengan menaikkan anggaran proyek (mark up).
  2. Suap-menyuap: Memberi atau menerima hadiah atau janji dengan tujuan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
  3. Penggelapan dalam jabatan: Dengan sengaja menggelapkan uang atau memalsukan dokumen untuk kepentingan pribadi.
  4. Pemerasan: Pegawai negeri memaksa seseorang untuk memberikan uang atau barang, atau melakukan pembayaran yang tidak seharusnya, sebagai syarat untuk mendapatkan layanan.
  5. Perbuatan curang: Perbuatan yang merugikan orang lain atau negara, seperti pemborong yang menggunakan bahan bangunan berkualitas rendah pada proyek pemerintah.
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: Mengatur agar perusahaan milik keluarga, teman, atau kerabatnya memenangkan tender proyek pemerintah.
  7. Gratifikasi: Pemberian dalam arti luas yang meliputi uang, barang, rabat, komisi, pinjaman, dan lain-lain, yang diberikan kepada pegawai negeri dan berhubungan dengan jabatannya. Jika tidak dilaporkan, gratifikasi bisa dianggap suap

Mengenal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Contoh-contohnya

    PADA sekitar 1999, Amien Rais, tokoh reformis kala itu, menyebut bahwa mesin birokrasi di Indonesia sesungguhnya menjadi mesin KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sangat produktif; sejak mengurus KTP hingga hak pengusahaan hutan (HPH) tidak pernah terbebaskan dari KKN. 

    Dari skala semut sampai skala gajah, maka KKN akan selalu menyertai proses birokrasi di Indonesia,” tulis Amien Rais dalam kata pengantarnya untuk buku Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia (Hamid dan Sayuti, 1999).

    Saking geramnya dengan fenomena KKN, Amien bahkan dengan keras mengatakan, dalam sudut pandang agama, seseorang yang memberikan toleransi pada perilaku KKN, “Maka, tidak berlebihan jika dikatakan seseorang tersebut harus diragukan keimanannya,” katanya.

    Sementara itu, sejarawan Taufik Abdullah mengatakan KKN adalah konsep-konsep yang hanya bisa dikenakan dalam konteks organisasi, bisa berupa perusahaan, partai politik, dan, tentu saja, negara.

    Sampai sekarang, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme masih ada. Seolah-olah, pelaku tak benar-benar belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Sekali diberantas satu, justru bermunculan lagi di banyak instansi.

Pengertian korupsi dan contohnya

    Dalam bahasa Latin, korupsi berasal dari kata corruptio artinya rusak, busuk (kata benda). Kata kerjanya yaitu corrumpere yang artinya merusak, membusuk, menyogok, atau memutarbalik.

    Transparency International (TI), organisasi yang setiap tahun merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK), mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi.

    Selain merugikan secara finansial, menurut TI, korupsi juga mengikis kepercayaan, melemahkan demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi, serta semakin memperparah ketidaksetaraan, kemiskinan, perpecahan sosial, dan krisis lingkungan.

    Sementara itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan korupsi adalah tindakan melawan hukum yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

    Undang-undang menyederhanakan tindak pidana korupsi menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Adapun contoh-contoh dari tujuh kelompok tindak pidana korupsi ini adalah sebagai berikut:
  1. Kerugian keuangan negara: pegawai pemerintah yang melakukan mark up anggaran agar mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut.
  2. Suap-menyuap: pihak swasta yang memberikan sejumlah uang kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.
  3. Penggelapan dalam jabatan: pegawai perawatan mobil dinas mengambil sisa uang perawatan yang seharusnya dikembalikan ke kantor.
  4. Pemerasan: pegawai pemerintah yang menetapkan biaya tertentu untuk pengurusan dokumen penduduk yang sebenarnya gratis.
  5. Perbuatan curang: pemborong bangunan dalam proyek pemeringah menggunakan material kualitas rendah, padahal janjinya material kelas 1.
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: pegawai pemerintah mengatur sedemikian rupa agar perusahaan saudara/teman/keluarga bisa menang dalam tender.
  7. Gratifikasi: pengusaha memberikan barang mewah untuk pejabat dengan harapan mendapat proyek dari instansi pemerintahan.

Pengertian kolusi dan contohnya

    Sejarawan Taufik Abdullah dalam artikel KKN: Sebuah Pendekatan Kultural (Hamid dan Sayuti, 1999) menuturkan, KKN adalah konsep baru dalam konteks negara modern. Khusus kolusi, ia menyebut hal itu sebagai bentuk kerja sama untuk mendapatkan keuntungan yang tak sah dari milik publik atau negara.

    Paul A. Samuelson (1999) mendefinisikan kolusi sebagai perjanjian di antara beberapa perusahaan untuk bekerja sama dalam menaikkan harga dan membagi pasar yang berakibat pada pembatasan persaingan bebas.

    Satu contoh praktik, misalnya, kartel tujuh maskapai penerbangan yang diputuskan bersalah oleh KPPU pada 2020 silam. Untuk menghindari kolusi, setiap pelaku bisnis sepatutnya mengimplementasikan program bisnis berintegritas:
  1. Komitmen untuk tidak memberikan uang pelicin, suap-menyuap.
  2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
  3. Melaporkan indikasi tindak pidana korupsi; pemerasan, bentuk pungli lainnya yang dilakukan oknum regulator dan penegak hukum.
Pengertian nepotisme dan contohnya

    Guru Besar Antropologi UGM Sjafri Sairin (1999) mengutarakan bahwa pada hakikatnya nepotisme adalah mendahulukan dan membuka peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi-posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.

    Adapun contoh tindakan nepotisme adalah mengutamakan pengisian lowongan pekerjaan untuk kerabat atau teman sendiri tanpa mengikuti prosedur rekrutmen tenaga kerja yang sesungguhnya. Kalaupun ada prosedur rekrutmen, statusnya hanya formalitas belaka.

    Penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa gejala penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme itu tidak terjadi hanya berdasarkan lemahnya iman dan kejujuran pelaku, melainkan juga karena adanya kesempatan dan lemahnya struktur negara yang tidak dapat membendung keserakahan manusia.