BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sumber
daya manusia Indonesia yang berkualitas merupakan aset bangsa dan negara dalam
melaksanakan pembangunan nasional di berbagai sektor dan dalam menghadapi
tantangan kehidupan masyarakat dalam era globalisasi.
Sumber
daya manusia ini tiada lain ditentukan oleh hasil produktivitas lembaga-lembaga
penyelenggara pendidikan, yang terdiri atasi jalur sekolah dan luar sekolah,
serta secara spesifik merupakan hasil proses belajar-mengajar di kelas.
Pendidikan
jalur sekolah terdiri atas tiga jenjang yaitu pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi serta bersifat formal, karena dilaksanakan
secara berkesinambungan dan adanya saling keterkaitan dalam kurikulum yang
diajarkan. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi baru bisa diikuti apabila jenjang
sebelumnya telah selesai diikuti dan berhasil (St. Vembriarto, dkk., 1994).
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut Pemerintah Republik
Indonesia melalui Kementrian Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaanl berupaya
mengadakan perbaikan dan pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia, yaitu
dalam bentuk pembaharuan kurikulum, penataan guru, peningkatan manajemen
pendidikan, serta pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan
pembaharuan ini diharapkan dapat dihasilkan manusia yang kreatif yang sesuai
dengan tuntutan jaman, yang pada akhirnya mutu pendidikan di Indonesia
meningkat.
Peningkatan
mutu pendidikan akan tercapai apabila proses belajar mengajar yang
diselenggarakan di kelas benar-benar efektif dan berguna untuk mencapai
kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan. Karena pada
dasarnya proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan, di antaranya guru merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menentukan berhasilnya proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu
guru dituntut untuk meningkatkan peran dan kompetensinya.
Guru yang kompeten akan lebih mampu
menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola
kelasnya sehingga hasil belajar peserta didik berada pada tingkat yang optimal.
Adam dan Decey (dalam Usman, 2003) mengemukakan peranan guru dalam proses
belajar mengajar adalah sebagai berikut: (a) guru sebagai demonstrator, (b)
guru sebagai pengelola kelas, (c) guru sebagai mediator dan fasilitator serta
(d) guru sebagai evaluator.
BAB
II
PEMBELAJARAN DAN PENGELOLAAN KELAS
A. Belajar dan Pembelajaran
Belajar
dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju ke
perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan
sebagai usaha penguasaan meteri ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian
kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya (Sardiman, 2011: 22)
Banyak
ahli mengemukakan mengenai belajar. Pandangan beberapa ahli tentang belajar
dalam Syaiful Bahri Djamarah (2002: 12-13), yakni sebagai berikut:
a) Belajar menurut James O. Whittaker adalah
merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah
melalui latihan atau pengalaman.
b) Belajar menurut Cronbach adalah Learning is shown by change in behavior as
a result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan
oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
c) Belajar menurut Howard L. Kingskey adalah
bahwa Learning is the process by which
behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or
training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas)
ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
d) Slameto merumuskan pengertian belajar
sebagai suatu proses usaha yang dilakukan imdividu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari
beberapa definisi di atas, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang
terbentuk karena pengalaman maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh sesorang.
Pengalaman tersebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya maupun
melalui ilmu pengetahuan yang diperolehnya..
Sedangkan
pembelajaran ada berbagai definisi mengenai yang dikemukakan oleh para ahli.
Salah satunya yaitu Dimyati dan Mudjiono (2009: 7) yang mengemukakan bahwa
pembelajaran adalah suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna menarik
dan memberi informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang dirancang
oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan.
Definisi
pembelajaran menurut Oemar Hamalik (2005: 57) adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Dari
definisi di atas, pembelajaran adalah sutu proses interaksi yang terjadi antara
pendidik dan peserta didik dalam suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan
belajar. Pembelajaran harus didukung dengan baik oleh semua unsur dalam
pembelajaran yang meliputi pendidik, peserta didik, dan juga lingkungan belajar.
B.Peran guru dalam pembelajaran
Guru
menurut UU no. 14 tahun 2005 “adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Sedangkan menurut pemikiran Gage dan Berliner, peran guru dalam
proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1). Guru sebagai perencana (planner) yang
harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).
2).Guru sebagai pelaksana (organizer), yang
harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia
bertindak sebagai orang sumber (resource
person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik &
humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems)
.3).Guru sebagai penilai (evaluator) yang
harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas
tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan,
baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
C. Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas berbeda dengan pengelolaan
pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dalam suatu pembelajaran.
Sedangkan pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk
menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses
belajar (pembinaan rapport , penghentian perilaku peserta didik yang
menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas
oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang
produktif), di dalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan
fasilitas.
Pengelolaan kelas terdiri dari dua kata,
yaitu pengelolaan dan kelas. Pengelolaan itu sendiri akar katanya adalah
“kelola” ditambah awalan “pe” dan akhiran “an”. Istilah lain dari pengelolaan
adalah “manajemen”. Manajemen adalah kata yang aslinya dari bahasa Inggris,
yaitu management yang berarti
ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan.
Hadari
Nawawi memandang kelas dari dua sudut, yaitu:
1.Kelas dalam arti sempit yakni tempat
sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar. Kelas dalam
pengertian tradisional ini mengandung sifat statis karena sekadar menunjuk
pengelompokan siswa menurut tingkat perkembangan yang antara lain didasarkan
pada batas umur kronologis masing-masing.
2.Kelas dalam arti luas adalah suatu
masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah yang sebagai
suatu kesatuan diorganisasi menjadi unit kerja yang secara dinamis
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai
suatu tujuan.
Maka
pengelolaan kelas merupakan usaha sadar atau keterampilan seorang guru untuk
menciptakan, mengatur, dan memelihara kegiatan proses belajar mengajar secara
sistematis dan kondusif yang mengarah pada penyiapan sarana dan alat peraga,
pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi atau kondisi proses belajar
mengajar berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai.
Menurut
Suharsimi Arikunto, Pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung
jawab kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar dicapai kondisi yang optimal
sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar mengajar seperti yang diharapkan
(Arikunto, 1986: 143).
Menurut
Muljani A. Nurhadi, Pengelolaan kelas merupakan upaya mengelola siswa di kelas
yang dilakukan untuk menciptakan dan mempertahankan suasana (kondisi) kelas
yang menunjang program pengajaran dengan jalan menciptakan dan mempertahankan
motivasi siswa untuk selalu terlibat dan berperan serta dalam proses pendidikan
di sekolah (Nurhadi, 1983: 162).
Dari
semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas adalah upaya
yang dilakukan guru dalam mengelola anak didiknya di kelas dengan menciptakan
atau mempertahankan suasana atau kondisi kelas yang mendukung program
pengajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
D.
Peran Guru dalam Pengelolaan Kelas
Pada
dasarnya proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan, di antaranya guru merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menentukan berhasilnya proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu
guru dituntut untuk meningkatkan peran dan kompetensinya, guru yang kompeten
akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih
mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang
optimal.
Adam
dan Decey mengemukakan peranan guru dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai berikut: (a) guru sebagai demonstrator, (b) guru sebagai pengelola kelas, (c) guru sebagai mediator dan
fasilitator dan (d) guru sebagai evaluator. Guru sebagai pengelola kelas harus
memiliki managemen kelas, tanpa kemampuan ini maka performence dan karisma guru
akan menurun, bahkan kegiatan pembelajaran bisa kacau tanpa tujuan.
Guru
sebagai pengelola kelas bertugas membuat anak didik betah tinggal di
kelas dengan motivasi yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya.
Beberapa fungsi guru sebagai pengelola kelas adalah merancang tujuan
pembelajaran, mengorganisasi beberapa sumber pembelajaran, memotivasi
yang bisa dilakukan dengan memberi hukuman atau reward, mendorong, dan
menstimulasi siswa serta mengawasi segala sesuatu apakah berjalan dengan lancar
apa belum dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Untuk
menciptakan suasana yang dapat menumbuhkan gairah belajar, meningkatkan
prestasi belajar siswa, dan lebih memungkinkan guru memberikan bimbingan
dan bantuan terhadap siswa dalam belajar, diperlukan pengorganisasian kelas
yang memadai. Pengorganisasian kelas adalah suatu rentetan kegiatan guru untuk
menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif, misalnya :
a.pengaturan penggunaan
waktu yang tersedia untuk setiap pelajaran,
b. pengaturan ruangan
dan perabotan pelajaran di kelas agar tercipta suasana yang menggairahkan dalam
belajar’
E. Hubungan Pengelolaan Kelas dan Pengelolaan
Pembelajaran
Pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran
adalah dua kegiatan yang sangat erat hubungannya namun dapat dan harus
dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pembelajaran mencakup
semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
khusus pengajaran (menentukan entry behavior peserta didik, menyusun rencana
pembelajaran, member informasi, bertanya, menilai, dan sebagainya), maka
pengelolaan kelas menunjuk kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan
“raport”, penghentian tingkah laku peserta didik yang menyelewengkan perhatian
kelas, pemberian ganjaran dan sebagainya). Jadi didalam proses belajar-mengajar
di sekolah dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu masalah pengajaran dan
pengelolaan kelas.
Masalah pengelolaan kelas harus ditanggulangi
dengan tindakan korektif pengelolaan, sedangkan masalah pengajaran harus
ditanggulangi dengan tindakan korektif intruksional. Sebagai pemberian dasar
serta penyiapan kondisi bagi terjadinya proses belajar yang efektif,
pengelolaan kelas menunjuk kepada pengaturan orang maupun pengaturan fasilitas.
Fasilitas disini mencakup pengertian yang luas mulai dari ventilasi,
penerangan, tempat duduk, sampai dengan perencanaan program belajar-mengajar.
BAB III
MASALAH PENGELOLAAN KELAS DAN MASALAH
PEMBELAJARAN
A. Masalah Pengelolaan Kelas
Masalah
mengelola kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu masalah
individual dan masalah kelompok. Meskipun seringkali perbedaan antara dua
katagori itu hanya merupakan perbedaan tekanan saja. Tindakan pengelolaan kelas
seorang guru akan efektif apabila ia dapat mengidentifikasi dengan tepat
hakikat masalah yang sedang dihadapi, sehingga pada gilirannya ia dapat memilih
strategi penanggulangan yang tepat pula.
Rudorf
Dreikurs dan Pearl Cassel membedakan empat kelompok masalah pengelolaan kelas
individual yang berdasarkan asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan
upaya pencapaian tujuan pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan
kebutuhan untuk mencapai harga diri. Bila kebutuhan-kebutuhan ini tidak lagi
dapat dipenuhi dengan cara-cara yang lumrah dapat diterima masyarakat, dalam
hal ini masyarakat kelas, maka individu yang yang bersangkutan akan berusaha
mencapainya dengan cara-cara lain. Dengan kata lain, dia akan berbuat tidak
baik. Perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuan dengan cara yang asocial
digolongkan sebagai berikut:
1. Tingkah laku yang mendapatkan perhatian
orang lain (attention getting behaviors).
2. Tingkah laku yang ingin menunjukkan
kekuatan (power seeking behaviors).
3. Tingkah laku yang bertujuan menyakiti
orang lain (revenge seeking behavior).
4.
Peragaan ketidakmampuan(helplessness).
Lois
V. Johnson dan Mary A. Bany mengemukakan 6 kategori masalah kelompok dalam
pengelolaan kelas. Masalah-masalah yang dimaksud yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Kelas kurang kohesif. Misalnya perbedaan
jenis kelamin, suku, dan tingkat sosio-ekonomi.
2. Kelas mereaksi negative terhadap salah
seorang anggotanya.
3. Membesarkan hati anggota kelas yang justru
melanggar norma kelompok.
4. Kelompok cenderung mudah dialihkan
perhatiannyadari tugas yang telah digarap.
5. Semangat kerja rendah.
6. Kelas kurang mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan baru.
B. Masalah Pembelajaran
Di
dalam setiap kehidupan pasti aka nada yang namanya masalah , begitu juga
masalah dalam pembelajaran yang membuat peserta didik tidak dapat secara
maksimal untuk menyerap ilmu yang telah di sampaikan oleh tenaga didik. Berikut
adalah beberapa masalah dalam pembelajaran yang perlu untuk ditanggulangi:
1. Berkurangnya motivasi para peserta didik
untuk belajar atau berpartisipasi di dalam belajar
2. Semakin banyak siswa yang membolos pada
saat jam pelajaran di mulai
3. Pada zaman yang berkembang ini juga banyak
sekali perkelahian muncul di kalangan antar mahasiswa
4. Prestasi siswa yang semakin rendah dan
mengalami kemerosotan nilai
5. Semakin menipisnya etika dan kesopanan di
dalam belajar
BAB
IV
PENDEKATAN
DALAM PENGELOLAAN KELAS
Berdasarkan
masalah-masalah dalam pengelolaan kelas, seorang guru harus mendalami kerangka
acuan pendekatan-pendekatan kelas, sebab ia harus terlebih dahulu meyakini
bahwa pendekatan yang dipilihnya untuk menangani suatu kasus pengelolaan kelas
merupakan alternatif yang terbaik sesuai dengan masalahnya. Artinya seorang guru terlebih
dahulu harus menetapkan bahwa penggunaan suatu pendekatan memang cocok dengan
masalah yang ingin ditanggulangi. Ini tentu tidak dimaksudkan untukmengatakan
bahwa seorang guru akan berhasil baik setiap kali iamenangani kasus pengelolaan
kelas. Sebaliknya, keprofesionalan cara kerja seorang guru adalah demikian
sehingga apabila alternatif tindakannya yang pertama tidak memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan,maka ia masih mampu melakukan analisis ulang
terhadap situasi untukkemudian tiba pada alternatif pendekatan yang kedua, dan
seterusnya.
Berbagai
pendekatan tersebut adalah seperti dalam uraian berikut ini:
1. Pendekatan kekuasaan (pendekatan Otoriter)
Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu
proses untuk mengontrol
tingkah
laku peserta didik. Peranan guru di sini adalah menciptakan dan
mempertahankan
kondisi kelas yang telah teratur dan penuh kedisiplinan.
Kedisiplinan
adalah kekuatan yang menuntut kepada peserta didik untuk 18
menaatinya.
Dalam pendekatan ini kekuasaan terbungkus dalam norma-norma
atau
peraturan yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. Melalui kekuasan
dalam
bentuk norma itulah guru mendekatinya.
2.
Pendekatan Ancaman (pendekatan Intimidasi)
Pendekatan ancaman atau intimidasi dalam
pengelolaan kelas adalah suatu proses untuk mengontrol tingkah laku peserta
didik dengan cara memberikan ancaman, misalnya melarang, ejekan, sindiran, dan
memaksa.
3.
Pendekatan Permisif
Pendekatan permisif adalah pendekatan yang
menekankan perlunya memaksimalkan kebebasan siswa. Tema sentral dari pendekatan
ini adalah: apa, kapan, dan dimana juga guru hendaknya membiarkan peserta didik
bertindak bebas sesuai dengan yang diinginkannya.Peranan guru adalah
meningkatkan kebebasan peserta didik, sebab dengan itu akan membantu
pertumbuhannya secara wajar. Campurtangan guru hendaknya seminimal mungkin, dan
berperan sebagaipendorong mengembangkan potensi peserta didik secara penuh.
4.
Pendekatan Pengubahan Perilaku
Pendekatan pengubahan perilaku didasarkan
pada prinsip-prinsippsikologi behaviorisme. Prinsip utama yang mendasari
pendekatanini adalah perilaku merupakan hasil proses belajar. Prinsip ini
berlakubaik bagi perilaku yang sesuai maupun perilaku yang menyimpang
5.
Pendekatan Iklim Sosio-Emosional
Pendekatan iklim sosio-emosional dalam
manajemen kelas berakarpada psikologi penyuluhan klinikal, dan karena itu
memberikan artiyang sangat penting pada hubungan antar pribadi. Pendekatan
inidibangun atas dasar asumsi bahwa manajemen kelas yang efektif (dan
pengajaran yang efektif) sangat tergantung pada hubunganyang positif antara
guru dan peserta didik. Guru adalah penentuutama atas hubungan antar dan iklim
kelas. Oleh karena itu, tugaspokok guru dalam manajemen kelas adalah membangun
hubunganantar pribadi yang positif dan meningkatkan iklim sosio-emosionalyang
positif pula.
.
6. Pendekatan Electis/Pluralistik
Pendekatan electis menekankan kepada
potensialitas, kreativitas dan
inisiatif
guru dalam memilih berbagai pendekatan berdasarkan situasi dan masalah yang
dihadapinya. Pendekatan ini bersifat fleksibel, bisa jadi dalam situasi
tertentu seorang guru bisa memilih salah satu pendekatan dan di saat yang lain,
seorang guru dituntut untuk mengkombinasikan pendekatan yang digunakan
7.
Pendekatan Kerja Kelompok
Bentuk lain pendekatan manajemen kelas adalah
pendekatan kerja kelompok. Pada pendekatan kerja kelompok, guru berperan
sebagai pendorong terciptanya kerja sama kelompok. Pengelolaan kelas dengan
proses kelompok memerlukan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi-kondisi
yang memungkinkan kelompok menjadi kelompok yang produktif. Agar
kelompok-kelompok siswa menjadi produktif dalam melakukan proses
pembelajarannya maka guru juga dituntut untuk bisa memelihara kondisi itu agar
tetap baik. Kondisi kelas yang baik menurut pendekatan kelompok kerja adalah
tampaknya kemampuan guru dalam mempertahankan semangat yang tinggi, mengatasi
konflik, dan mengurangi masalah-masalah pengelolaan kelas.
BAB
V
MASALAH
DALAM PENGELOLAAN KELAS
Ada
dua jenis masalah pengelolaan kelas, yaitu yang bersifat individual dan yang
bersifat kelompok.
A.
Masalah yang bersifat Individual
Penggolongan
masalah individual ini didasarkan atas anggapan dasar bahwa tingkah laku manusia
itu mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Jika seorang individu gagal
mengembangkan rasa memiliki dan rasa dirinya berharga, maka dia akan bertingkah
laku menyimpang
1. Attention
getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian).
Seorang siswa yang gagal menemukan kedudukan
dirinya secara wajar dalam suasana hubungan sosial yang saling menerima
biasanya (secara aktif ataupun pasif) bertingkah laku mencari perhatian orang
lain. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang aktif dapat dijumpai pada
anak-anak yang suka pamer, melawak(memperolok), membuat onar, memperlihatkan
kenakalan, terus menerus bertanya; singkatnya, tukang rewel. Tingkah laku
destruktif pencari perhatian yang pasif dapat dijumpai pada anak-anak yang
malas atau anak-anak yang terus meminta bantuan orang lain.
2. Power seeking behaviors (pola
perilaku menunjukkan kekuatan/kekuasaan)
Tingkah laku mencari kekuasaan sama dengan
perhatian yang destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari kekuasaan yang aktif
suka mendekat, berbohong, menampilkan adanya pertentangan pendapat, tidak mau
melakukan yang diperintahkan orang lain dan menunjukkan sikap tidak patuh
secara terbuka. Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada anak-anak yang amat
menonjolkan kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Anak-anak ini amat pelupa, keras kepala, dan secara pasif memperlihatkan
ketidakpatuhan.
3. Revenge seeking behaviors (pola
perilaku menunjukkan balas dendam).
Siswa yang menuntut balas mengalami frustasi
yang amat dalam dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari sukses dengan
jalan menyakiti orang lain. Keganasan, penyerangan secara fisik (mencakar,
menggigit, menendang) terhadap sesama siswa, petugas atau pengusaha, ataupun
terhadap binatang sering dilakukan anak-anak ini. Anak-anak seperti ini akan
merasa sakit kalau dikalahkan, dan mereka bukan pemain-pemain yang baik
(misalnya dalam pertandingan). Anak-anak yang suka menuntut balas ini biasanya
lebih suka bertindak secara aktif daripada pasif. Anak-anak penuntut balas yang
aktif sering dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam, sedang yang pasif
dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh (suka menetang).
4.
Helplessness (peragaan ketidakmampuan).
Siswa yang memperlihatkan ketidakmampuan pada
dasarnya merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu yang dikehendakinya
(yaitu rasa memiliki) yang bersikap menyerah terhadap tantangan yang
menghadangnya; bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada dihadapannya hanyalah
kegagalan yang terus menerus. Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi
ini biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan atau memencilkan diri.
Sikap yang memperlihatkan ketidakmampuan ini selalu berbentuk pasif.[4]
B
Masalah bersifat kelompok.
Masalah
Kelompok, dikenal adanya tujuh masalah kelompok dalam kaitannya dengan
pengelolaan kelas:
1. Kelas kurang kohesif (akrab), karena
alasan jenis kelamin, suku, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Kekurang mampuan mengikuti peraturan
kelompok. Seperti Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati
sebelumnya.
3. Reaksi negatif terhadap sesama anggota
kelompok.
4. Penerimaan kelas (kelompok) atau
tingkah laku yang menyimpang.
5. Kegiatan anggota atau kelompok yang
menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, berhenti melakukan kegiatan
atau hanya meniru-niru kegiatan orang (anggota) lainnya saja.
6.Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja, dan
tingkah laku agresif atau protes.
7. Ketidak mampuan menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan.
C. Cara Menghadapi Masalah dalam Pengelolaan
Kelas.
Salah
satu cara yang tepat dalam menghadapi suatu permasalahan pengelolaan kelas
terutama dengan anak–anak didik adalah dengan menggunakan suatu pendekatan.
Pendekatan pertama
ialah dengan menerapkan sejumlah “larangan dan anjuran” misalnya:
1. Jangan menegur siswa di hadapan
kawan-kawannya.
2. Dalam memberikan peringatan kepada
siswa janganlah mempergunakan nada suara yang tinggi.
3. Bersikaplah tegas dan adil terhadap
semua siswa.
4. Jangan pilih kasih.
5. Sebelum menghukum siswa, buktikanlah
terlebih dahulu bahwa siswa itu bersalah.
6. Patuhlah pada aturan-aturan yang
sudah anda tetapkan. Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas.
Pendekatan yang kedua
yakni memakai proses kelompok, didasarkan atas pertimbangan bahwa tingkah laku
yang menyimpang pada dasarnya bukanlah peristiwa yang menimpa seorang individu
yang kebetulan menjadi anggota kelompok kelas tertentu, namun adalah peristiwa
sosial yang menyangkut kehidupan kelompok dimana individu itu menjadi
anggotanya.
Teori
pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa penguasaan tingkah laku tertentu
sejalan dengan usaha belajar yang hasil-hasilnya akan memperoleh ganjaran,
bahwa penampilan tingkah laku yang dimaksudkan itu akan menghasilkan penguatan
tertentu. Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa semua tingkah laku, baik
tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai, adalah hasil belajar.
Mereka yang percaya pada teori ini berpendapat bahwa: (1) penguatan (reinforcement) positif, penguatan
negatif, hukuman dan penghilangan (extinction)
berlaku bagi proses belajar pada semua tingkatan umur dan dalam semua keadaan,
dan (2) proses belajar sebagian atau bahkan seluruhnya dipengaruhi (dikontrol)
oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan. Penguatan ini dipandang
sebagai kejadian yang meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan
(tingkah laku) tertentu, dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat.
Tingkah laku yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun
yang tidak disukai..
BAB
VI
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengelolaan Kelas
Secara
umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses manajemen kelas (pengelolaan kelas)
yang dilakukan guru dapat dibedakan ke dalam 2 golongan yaitu:faktor internal
siswa dan faktor eksternal siswa.
A.
Faktor internal siswa
Faktor
internal siswa adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah emosi,
pikiran, dan perilaku yang ada di dalam diri masing-masing siswa yang ada di
kelas yang bersangkutan.
Setiap
siswa mempunyai keadaan emosi yang berbeda-beda, bahkan pada setiap diri siswa
pada waktu-waktu yang berbeda. Berbagai faktor lain dapat mempengaruhi
bagaimana emosi siswa saat pembelajaran berlangsung. Penting sekali untuk
memelihara emosi positif setiap siswa saat pembelajaran berlangsung.
Pikiran
setiap siswa pun demikian. Pada suatu waktu mereka bisa saja sangat
terkonsentrasi untuk belajar, sedangkan pada waktu lain mereka sulit sekali
berkonsentrasi. Pikiran siswa bisa saja pergi ke tempat lain atau ke hal-hal
lain di luar proses pembelajaran. Kemampuan guru untuk membuat pikiran siswa
kondusif untuk belajar sangatlah penting. Beragam strategi dan metode
pembelajaran yang bervariasi dapat membantu siswa mengarahkan pikirannya untuk
belajar secara optimal.
Perilaku
dan kepribadian siswa dengan ciri-ciri khasnya masing-masing menyebabkan siswa
berbeda dari siswa lainnya sacara individual. Kita tahu, tidak akan ada siswa
yang mempunyai karakteristik atau kepribadian yang sama. Perbedaan sacara
individual ini dilihat dari segi aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual,
dan psikologis.
B.
Faktor Eksternal Siswa
Faktor
eksternal siswa adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah di luar
diri masing-masing siswa. Beberapa faktor yang tergolong ke dalam faktor
eksternal antara lain suasana lingkungan belajar, penempatan siswa,
pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya.
Suasana
lingkungan belajar (ruang kelas atau tempat lainnya yang digunakan untuk
belajar) haruslah kondusif sehingga mendukung berlangsungnya proses pembelajaran
secara efektif. Ventilasi udara di ruang kelas memungkinkan pertukaran udara
dan tidak membuat kelas menjadi gerah. Keributan di sekitar tempat belajar juga
dapat mengganggu konsentrasi mereka dalam belajar.
Selain
itu, setiap siswa perlu diatur penempatannya (terutama untuk siswa kelas rendah
atau sekolah dasar), di mana siswa yang secara fisik lebih kecil mungkin
sebaiknya duduk di bangku depan, demikian juga untuk siswa yang mempunyai
hambatan dalam hal pendengaran atau penglihatan. Ini dimaksudkan untuk membantu
siswa-siswa tersebut untuk lebih mudah menerima informasi atau mendengarkan dan
melihat apa yang dilakukan di depan kelas baik oleh siswa maupun guru. Jangan
sampai pandangan atau pendengaran mereka terbatasi oleh tempat duduk yang letaknya
tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.
Selanjutnya,
di dalam kelas seringkali juga dilakukan pembelajaran dengan setting kelompok.
Guru memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok belajar secara sedemikian rupa
sehingga masing-masing siswa mendapatkan pilihan terbaik untuk pencapaian
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pengelompokkan siswa yang kurang
tepat dapat menimbulkan masalah sehingga dapat mengganggu atau menyulitkan
manajemen (pengelolaan) kelas.
Masalah
jumlah siswa di kelas akan mewarnai dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa
di kelas, misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung lebih mudah terjadi
konflik. Sebaliknya semakin sedikit jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil
terjadi konflik.
BAB
VII
PENATAAN
RUANG DAN LINGKUNGAN BELAJAR
A. Penataan
Ruang
Pembelajaran
yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana
belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan
ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkungan kelas perlu
ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara
siswa dengan guru, dan antar siswa. Ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell
(Winataputra, 2003: 9.22) yaitu:
a. Visibility
( Keleluasaan Pandangan)
Visibility artinya penempatan dan penataan
barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa
secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang
berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa kegiatan
pembelajaran.
b.
Accesibility (mudah dicapai)
Penataan
ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang
yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk
harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah
dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.
c.Fleksibilitas
(Keluwesan)
Barang-barang
di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan dengan
kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika
proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok.
d. Kenyamanan
Kenyamanan
disini berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas.
e
Keindahan
Prinsip
keindahan ini berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas yang menyenangkan
dan kondusif bagi kegiatan belajar. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan
dapat berengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan.
Penyusunan
dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan
memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu dan memantau tingkah
laku siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu
diperhatikan menurut Conny Semawan,dkk. (udhiezx.wordpress: 3) yaitu:
1.Ukuran
bentuk kelas
2.
Bentuk serta ukuran bangku dan meja
3.
Jumlah siswa dalam kelas
4.
Jumlah siswa dalam setiap kelompok
5. Jumlah
kelompok dalam kelas
Komposisi
siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan
wanita).Beberapa cara yang baik dalam menata ruang kelas menjadi lebih
efektif,diantaranya:
1,Dalam menata kelas menjadi sentra belajar, sejumlah
guru bidang studi melibatkan siswa terutama dalam perencanaan dan pengadaan
sumber-sumber belajar yang diperlukan. Pelibatan siswa dalam merancang ruang
kelas menjadi sentra-sentra belajar dapat membangun rasa kebanggaan dan
kebersamaan di kalangan siswa.
2. Sistem moving-class (kelas berpindah)
merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan penataan ruangan
kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini, ruang-ruang kelas
tertentu ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu.
Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan
sebagainya. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra
belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, pajangan, dan berbagai aspek
yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan karaketeristik
pembelajaran mata pelajaran tertentu.
Penggunaan
sistem moving-class memiliki beberapa keuntungan, sebagai berikut:
a. Atmosfir dan tatanan kelas
dapat memperlancar aktivitas dan proses pembelajaran. Semua elemen dalam kelas
menjadi semacam reinforcer (penguat) dan stimulator untuk membangkitkan gairah
dan aktivitas belajar terhadap mata pelajaran tertentu.
b. Memungkinkan penggunaan sarana,
fasilitas, serta berbagai media dan peralatan belajar secara lebih efisien.
Media dan peralatan pembelajaran Sains, misalnya, tidak perlu ada di semua
kelas, semua kebutuhan pembelajaran mata pelajaran tersebut cukup ditempatkan
dan ditata khusus pada kelas tertentu. Demikian pula kebutuhan media dan alat
bantu belajar pada mata-mata pelajaran lainnya ditata khusus pada kelas-kelas
tersendiri.
c. Setiap hari, siswa dapat menikmati
dan mengalami proses belajar pada tempat dan lingkungan belajar yang
bervariasi. Mobilitas gerak seperi Ini dapat menghindar¬kan siswa dari
kejenuhan akibat tata ruang kelas yang monoton.
d. Pergerakan-pergerakan yang
dialami siswa saat perpindahan kelas memungkinkan terjadinya interkasi yang
lebih aktif dan hidup di kalangan siswa. Ini dapat menstimulasi dan mengembangkan
sikap-sikap empati, kerjasama, kepedulian, dan berbagai sikap prososial siswa
lainnya.
B. Lingkungan Belajar
1. Pengertian Lingkungan Belajar
Yang dimaksud dengan lingkungan adalah
sesuatu yang berada di luar diri anak didik dan mempengaruhi perkembangannya.
Sebagian orang biasanya mengartikan lingkungan secara sempit, seolah-olah
lingkungan hanyalah alam sekitar diluar diri manusia atau individu. Lingkungan
itu sebenarnya mencakup segala material dan stimulus didalam dan di luar diri
individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis maupun sosial kultural.
Lingkungan yang memungkinkan belajar siswa
misalnya: gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, pusat sarana belajar,
museum, taman, kebun binatang, rumah sakit, pabrik, dan tempat-tempat lain yang
sengaja dirancang untuk tujuan belajar siswa atau yang dirancang untuk tujuan
lain tetapi kita manfaatkan untuk belajar siswa-siswa kita. Dalam pendidikan,
lingkungan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan dan
kegagalan siswa dalam belajar. Apabila belajar dengan baik, tapi bila
lingkungannya buruk maka mustahil dia bisa belajar dengan baik.
Dari beberapa definisi di atas dapat
dikemukakan bahwa maksud lingkungan belajar adalah lingkungan tempat anak didik
mendapat pendidikan atau tempat anak didik belajar yang sering disebut milieu
atau environment.
2. Jenis-jenis lingkungan belajar
Menurut Sartain lingkungan itu dibagi menjadi
tiga bagian sebagai berikut:
a. Lingkungan alam atau luar (external or
physical environmet)
Yang dimaksud dengan lingkungan alam atau
luar ialah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini yang bukan manusia, seperti:
air, iklim, hewan, dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya sangat sukar bagi kita
untuk menarik batas yang tegas antara ”diri kita sendiri” dengan ”lingkungan kita”.
b. Lingkungan dalam (internal environment)
Yang dimaksud dengan lingkungan dalam ialah
segala sesuatu yang termasuk lingkungan luar/alam. Akan tetapi makanan yang
sudah di dalam perut kita, kita akan berada antara eksternal dan internal
environment kita. Karena makanan yang sudah dalam perut kita sudah atau sedang
dalam pencernaan dan peresapan ke dalam pembuluh-pembuluh darah. Makanan dan
air yang telah berada di dalam pembuluh-pembuluh darah atau di dalam cairan
limpa, mereka mempengaruhi tiap-tiap sel di dalam tubuh, dan benar-benar
termasuk ke dalam internal environment atau lingkungan dalam.
c. Lingkungan sosial atau masyarakat (social
environmet)
Yang dimaksud dengan lingkungan sosial ialah
semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita. Pengaruh lingkungan
sosial itu ada yang kita terima secara langsung dan ada yang tidak langsung.
Pengaruh secara lengsung, seperti dalam pergaulan sehari-hari dengan orang
lain, dengan keluarga kita, teman-teman kita, kawan sekolah, sepekerjan, dan
sebagainya.
Juga perlu diketahui bahwa dari semua
lingkungan masyarakat yang dapat digunakan dalam proses pendidikan dan
pengajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga macam lingkungan
belajar yaitu sebagai berikut:
a. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial sebagai sumber balajar
berkenaan dengan interaksi manusia dengan kehidupan masyarakat, seperti
organisasi sosial, sdat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebudayaan,
pendidikan, kependudukan, struktur pemerintahan, agama dan sistem nilai.
b. Lingkungan alam
Lingkungan alam berkenaan dengan segala
sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan geografis, iklim, suhu udara,
musim, curah hujan, flora, fauna, sumber daya alam.
c. Lingkungan buatan
Lingkungan yang sengaja diciptakan atau
dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Lingkungan buatan ini antara lain irigasi atau pengairan, bendungan,
pertamanan, kebun binatang, perkebunan, penghijauan, dan pembangkit tenaga
listrik.
3. Syarat-syarat lingkungan belajar
Ruang belajar mempunyai peranan yang cukup
besar dalam menentukan hasil belajar yang memenuhi hasil belajar seseorang.
Setiap siswa hendaknya memilih ruang belajar yang memenuhi persyaratan fisik
tertentu. Persyaratan yang diperlukan untuk ruang belajar adalah sebagai
berikut:
a. Bebas dari gangguan
Vocsk mengatakan bahwa kesunyian tidaklah
esensial untuk belajar dan tidak ada tempat yang mutlak sunyi. Tetapi, jika
anda punya motivasi dan daya konsentrasi kuat, ditepi jalanpun bisa jadi sunyi
buat anda. Kita tidak akan bisa memusatkan diri pada pelajaran apabila setiap
kita sedang membaca buku atau menyelesaikan soal-soal, suara diluar demikian
gaduhnya.
Ruang belajar juga harus bebas dari
kemungkinan gangguan dari orang lain. Misalnya, jika kita belajar sambil menjaga
toko tentu hasilnya tidak sebaik jika kita belajar tanpa kita sambil menjaga
toko.
b. Sirkulasi dan suhu udara yang baik
Pada zaman modern ini, bagi mereka yang mampu
tentu akan lebih baik menyediakan alat pengatur udara (AC). Namun jika tidak
memiliki ruang yang sirkulasi udara yang cukup baik, maka carilah tempat dan
waktu yang baik untuk itu. Suhu udara haruslah yang enak untuk diri anda, tidak
terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Jika punya kamar sendiri dan kebetulan
ventilasinya kurang baik, jangan segan-segan untuk membuat jendela.
c. Penerangan yang baik
Cahaya yang baik datangnya haruslah dari sisi
atau atas kita dan bukan cahaya langsung. Cahaya yang jatuhnya kepermukaan buku
secara tidak langsung, akan meringankan beban mata kita.
BAB
VIII
PROSEDUR
PENGELOLAAN KELAS
Prosedur
pengelolaan kelas merupakan langkah -Iangkah bagaimana kegiatan pengelolaan
kelas dilakukan untuk terciptanya kondisi belajar yang optimal serta
rnempetahankan kondisi tersebut agar proses belajar mengajar dapat berlangsung
secara efektif dan efesien.
Atas
dasar tindakan dalam kegiatan pengelolaan kelas dapat dikelompokkan dalam dua
tindakan, yaitu:
Dimensi
pencegahan (preventif) , merupakan tindakan dalam mengatur siswa dan peralatan
serta format belajar mengajar yang tepat sehingga menimbulkan kondisi yang
menguntungkan bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Prosedurnya dalam
hal ini berupa langkah-Iangkah yang harus direncanakan guru untuk menciptakan
suatu struktur kondisi yang fleksibel baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang. Prosedur tindakan pencegahan ini diarahkan pada pelayanan perkembangan
tuntutan dan kebutuhan siswa baik secara individual maupun kelompok-kelompok
dapat berupa kegiatan contoh-contoh ataupun berupa informasi.
Dimensi
kuratif, merupakan tindakan tingkah laku yang menyimpang yang sudah terlanjur
terjadi agar penyimpangan itu tidak berlarut-Iarut. Dalam hal ini guru berusaha
untuk menimbulkan kesadaran akan penyimpangan yang dibuat akhirnya akan
menimbulkan kesadaran dan tanggung jawab untuk rnemperbaiki diri sendiri
melalui kegiatan-kegiatan yang direncanakan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan dua tindakan dalam kegiatan pengelolaan kelas, maka prosedur
pengelolaan kelas yang dapat dilakukan berkaitan dengan kedua tindakan
tersebut, yaitu prosedur dimensi pencegahan/preventif dan prosedur dimensi
kuratif.
Langkah-Iangkah
yang harus ditempuh dalam pengelolaan pencegahan adalah sebagai berikut:
1.
Peningkatan kesadaran diri sebagai guru
Sikap guru terhadap kegiatan profesinya akan
banyak mempengaruhi terciptanya kondisi belajar mengajar atau menciptakan
sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. Oleh karena itu,
langkah utama dan pertama yang strategis dan mendasar dalam kegiatan
pengelolaan kelas adalah "Peningkatan kesadaran diri" sebagai guru.
Apabila seorang guru sadar akan profesinya sebagai guru pada gilirannya akan
meningkatkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki yang merupakan modal dasar
bagi guru dalam melaksanakan tugasnya.
Implikasi adanya kesadaran diri sebagai guru
akan tampak dalam sikap guru yang demokratis tidak otoriter, menunjukan
kepribadian yang stabil, harmonis serta berwibawa. Sikap demikian pada akhirnya
akan menumbuhkan atau menghasilkan reaksi serta respon yang positif dari siswa.
2.
Peningkatan kesadaran siswa
Meningkatkan kesadaran diri sebagai guru
tidak akan ada artinya tanpa diikuti meningkatnya kesadaran siswa sebab apabila
siswa tidak atau kurang memiliki kesadaran terhadap dirinya tidak akan terjadi
interaksi yang positif dengan guru dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Pada
akhimya dapat mengganggu kondisi optimal dalam rangka belajar mengajar.
Kurangnya kesadaran siswa terhadap dirinya ditandai dengan sikap yang mudah
marah, mudah tersinggung, mudah kecewa, dan sikap tersebut akan memungkinkan
siswa melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji. Untuk menanggulangi atau
mencegah munculnya sikap negatif tersebut guru harus berupaya meningkatkan
kesadaran siswa melalui tindakan sebagai berikut:
a. Memberitahukan kepada siswa tentang hak
dan kewajiban siswa sebagai anggota kelas.
b Memperhatikan kebutuhan dan keinginan
siswa.
c. Menciptakan suasana adanya saling
pengertian yang baik antara guru dan siswa.
3.
Sikap Polos dan Tulus dari Guru
Guru dituntut untuk bersikap polos dan tulus,
artinya guru dalam tindakan dan sikap keseharian selalu "Apa adanya"
tidak berpura-pura. Tindakan dan sikap demikian akan merupakan rangsangan
positif bagi siswa dan siswa akan memberikan respon atau reaksi positif. Penciptaan
suasana sosioemosional di dalam kelas akan banyak dipengaruhi oleh polos
tidaknya dan tulus tidaknya sikap guru yang pada gilirannya akan berpengaruh
penciptaan kondisi lingkungan yang optimal dalam rangka proses belajar
mengajar.
4.
Mengenal dan menemukan alternatif pengelolaan
Langkah
ini mengharuskan guru agar mampu:
a. Mengidentifikasi berbagai penyimpangan
tingkah laku siswa yang bersifat individual atau kelompok. Termasuk di dalamnya
penyimpangan yang sengaja dilakukan siswa hanya sekedar untuk menarik perhatian
guru atau teman -temannya.
b. Mengenal berbagai pendekatan dan
pengelolaan kelas dan menggunakan sesuai dengan situasi atau menggantinya
dengan pendekatan lain yang telah dipilihnya apabila pilihan pertama mengalami
kegagalan.
c. Mempelajari pengalaman guru-guru lainnya
baik yang gagal atau berhasil sehingga dirinya mempunyai alternatif yang
bervariasi dalam berbagai problem pengelolaan.
5.
Menciptakan "kontrak sosial"
Kontrak sosial pada dasarnya berkaitan dengan
"Standar tingkah laku" yang diharapkan dan memberikan gambaran
tentang fasilitas beserta keterbatasannya untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan
sekolah. Dengan kata lain "Standar tingkah laku yang memadai dalam situasi
khusus". Suatu persetujuan umum tentang bagaimana sesuatu dibuat, tindakan
sehari-hari yang bagaimana yang diperbolehkan. Standar tingkah laku ini tidak
membatasi kebebasan siswa akan tetapi merupakan tindakan pengarahan ke arah
tingkah laku yang memadai atau yang diharapkan dalam beberapa situasi. Standar
tingkah laku harus melalui "Kontrak sosial" dengan siswa. Dalam arti
bahwa aturan yang berkaitan dengan nilai atau norma yang turun dari atasan
(guru/sekolah) tidak timbul dari bawah akan mengakibatkan aturan tersebut
kurang dihormati atau ditaati, sehingga perumusannya perlu dibicarakan atau
disetujui bersama oleh guru dan siswa. Kebiasaan yang terjadi dewasa ini
aturan-aturan sebagai "Standar tingkah laku" berasal dari atas, siswa
hanya menerima apa adanya dan tidak punya pilihan lain. Kondisi demikian akan
memungkinkan timbulnya persoalan-persoalan dalam pengelolaan kelas karena siswa
tidak merasa membuat serta memiliki peraturan sekolah yang ada.
DAfTAR PUSTAKA
Boediono.
. Kegiatan Belajar Mengajar Makalah Kurikulum Berbasis Kompetensi http :
//www. Puskur. Or. Id / Data / Buku KBM. Pdf.Jakarta : Puskur, Balitbang,2002
Cooper,
James M. Classroom teaching Skills.
Lexington : D.C. Heath and Company. Depdiknas. (1994).
Winkel,
W.S Kamus pendidikan. Jakarta : Grasindo. 1987
Djadjamihardja,
Didi R., dkk, Kurikulum SMU petunjuk pelaksanaan administrasi pendidikan di
sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Dirdikmenun. 1994
.
Donelly,
James H., Jr., Gibson, James L., and Ivancevich, John M.Kepemimpinan dan
gaya kepemimpinan serta efektivitas kepemimpinan. Jakarta : Institut Bankir
Indonesia.1989
.
Hadiat,Management,
principles and functions. Boston .1984
Rohani,
Ahmad. Drs, M.Pd. Management. San Diego : Hardcourt Brace Jovanovich,
Publishers. Rohani, Ahmad. Drs, M.Pd. 2004.
Vembriarto,
St., dkk. Menjadi guru profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya.1994
Kuratko,
F. Donald, and Hodgetts, M. Richard, Pendidikan dan Pembelajaran, Teori,
Permasalahan, dan Praktek. Malang: UMM Press 1998
Usman,
Moh. Uzer. . Pengantar metode penelitian. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia. Usman, Moh. Uzer. 2002.
Hersey
& Blanchard, Pengelolaan Kelas. Bandung : Depdikbud P3G IPA. 1993
Hendyat
Soetopo Management of organizational behavior – utilizing human resources. Sixth
Edition. New Jersey : Prentice Hall International.Inc. . 2005
.
.
Samana,
A, Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 1994.
Sevilla,
Consuello G, dkk,Profesionalisme keguruan. Yogyakarta : Kanisius. 1993.
Yukl,
Gary A, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 1998.
.
W.J.S.,
Poerwadarmita,Psikologi pengajaran. Jakarta : P.T. Gramedia. 2002
Wina
Sanjaya, Tim Penyusun Kamus Pusat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar